EPISTEMOLOGI SASTRA
- Kondisi Keberadaan Karya Sastra
Karya sastra adalah
objek manusiawi, faktor kemanusiaan, atau fakta kultural, sebab merupakan hasil
ciptaan manusia. Meskipun demikan karya itu mempunyai eksistensi yang khas,
yang membedakannya dari fakta kemanusiaan lainnya seperti sistem sosial dan
sistem ekonomi. Karya sastra merupakan satuan yang dibangun atas hubungan
antara makna dan tanda dan antara ekspresi dengan pikiran. Dalam pengertian
serupa itu, Mukarovsky (1978:82-88) menyebut karya sastra khususnya dan karya
seni umumnya sebagai fakta semiotik.
Kondisi keberadaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan yang bersifat
semiotik itu amat perlu diperhatikan. Sebagai faktar kemanusiaan, karya sastra
merupakan ekspresi dari kebutuhan tertentu manusia, sedangkan sebagai fakta
semiotik karya itu mempunyai suatu ciri khas yang perlu diketahui.
a.
Karya Sastra Sebagai Fakta
Semiotik
Sebagai fakta semiotik, karya sastra mempunyai
eksistensi ganda, yakni sekaligus berada dalam dunia inderawi dan dunia kesadara.
Aspek keberadaannya yang pertama dapat ditangkap oleh indera manusia, sedangkan
aspek keberadaannya yang kedua tidak dapat dialami oleh indera.
b.
Aspek Empirik Karya Sastra
Karya sastra dilihat atau didengar lewat aspek
tulisan atau bunyinya. Aspek bunyi dan tulisan itulah yang menjadi aspek
empirik karya sastra, aspek yang dapat dialami indra manusia. Tulisan aatau
bunyi tidak barubah dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat diuji oleh orang
lain pada kesempatan tertentu. Tulisan adalah simbol bunyi. Bunyi itu sendiri
didengar sebagai suatu arus bunyi yang berangkai dan berkesinambungan.
Kenyataan itu akan dapat diketahui dengan amat jelas apabila orang mendengarkan
bahasa asing yang tidak diketahuinya. Karya sastra tidak hanya mempunyai aspek
tanda melainkan juga mempunyai aspek makna. Aspek makna itu tidak akan dapat
dipahami hanya dengan metode empirik. Dalam banyak hal aspek makna itu justru
menentukan perilaku aspek empirik.
c.
Aspek Nonempirik Karya Sastra
Pada umumnya yang dipandang sebagai lokus makna
adalah kesadaran manusia. Meskipun demikian, karena tidak dapat atau sukar didekati, terdapat berbagai
macam pendapat mengenai sifat kesadaran itu. Ada yang menganggapnya terletak dalam kesadaran pengarang dan ada
pula yang menganggapnya terletak dalam
kesadaran kolektif. Pandangan mengenai kesadran kolektif pun berbeda-beda. Ada
yang memandangnya terletak dalam kesadaran kolektif kebahasaan, didalam
kesadaran kolektif kebudayaan, dan ada pula yang memandangnya terdapat dalam
kesadaran kolektif kesastraan.
1.Kesadaran Individual
Kecenderungan menempatkan makna pada kesadaran
inividual merupakan kecenderungan yang tidak terelakan sebab hanya pengarang
yang berhubungan langsung dengan karyanya ( cf. Mukarovsky dalam Steiner 1978 :
xxxviii). Husserl (Seung 1982 :18-25), Drijarka S.J (1981;126-128) membagi
tanda-tanda linguistik menjadi dua kelas yaitu indikasi dan ekspresi. Tanda
indikatif mengindikasikan objek tertentu yang ada dalam kenyataan, sedangkan
tanda ekkspresif mengekspresikan makna yang ada dalam ppikiran yang merupakan
esensi dari objek. Kalau objek dapat diketahui, makna tidak dapat diketahui.
Ekspresi makna misalnya melalui bahasa tidak identik dengan makna itu sendiri
sebab hubungan antara makna itu dengan tanda ekspresi bersifat arbitrer. Dua
orang yang berbeda mempunyai makna yang sama dalam pikirannya. Akan tetapi
tanda ekspresi yang mereka gunakan untuk mengeskpresikan makna itu berbeda.
2.Kesadaran
Kolektif
Dilthey (Seung 1982 :47) mengatakan bahwa
identifikasi makna dengan wilyah kesadaran individual merupakan suatu
kesalahan. Makna menurutnya terletak dalam pikiran objektif yang merupakan
suatu sistem konvensi yang lewatnya anggota-anggota masyarakat berinteraksi
(Seung 1982 :45). Menurut Dithley (Seung
1982 :46) makna dan intensi-intensi yang ada dalam kesadaran individual terbagi
dan komunikatif. Pikiran objektif bukan hanya medium ekspresi dan komunikasi
melainkan juga metriks bagi pembentukan makna dan intensi-intensi tersebut.
Pikiran objektif itu megandung unsur-unsur yang cukup banyak, misalnya bahasa,
adat istiadat, kebiasaan, setiap jenis bentuk kehiupan atau kehidupan, dan juga
keluarga, masyarakat, negara, serta hukum. Kesadaran kolektif terbagi lagi
menjadi 3 bagian yaitu:
a.
Kesadaran
Kolektif Kebahasaan
Schleirmacher (Seung 1982:25—26) mengatakan, bahwa hubungan antara tanda
dengan makna itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu' hubungan dari makna
ke tanda dan dari tanda ke makna. Hubungan pertama disebut ekspresif, sedangkan
yang kedua interprétatif. Oleh karena itu, ia beranggapan bahwa interpretasi
makna harus dilakukan dengan dua tahap. Pertama tahap ekspresi, yakni dengan
memahami bahasa teks, sedangkan tahap kedua pemahaman terhadap makna dengan
melampaui medium bahasa yang umum.
Pendapat serupa itu dikemukakan pula oleh Barthes (Hawkes 1978:131) dan
Lotman (1977:9), dan banyak lagi yang lainnya. Barthes menyebut karya sastra
sebagai second-order semiotic system yang
ditumpangkan pada primery semiotic
system yang berupa bahasa. Menurutnya, satuan tanda dan makna dalam
sistem semiotik tingkat pertama hanya menjadi tanda dalam sistem semiotik
tingkat kedua itu. Lotman menyebut karya sastra sebagai secondary modeling system yang dibangun atas dasar model bahasa.
Wilayah empirik. Saussure (Culler 1983:98), umpamanya,
mengatakan bahwa di dalam sistem bahasa yang ada hanya perbedaan-perbedaan,
bukan substansi. Kata bebi, misalnya, mempunyai eksistensi karena berbeda dari
kata bayi, batt, nabi, atau babu. Dengan
mendasarkan pada teori itu, bahasa
tentunya tidak mempunyai urusan dengan masalah konsep atau pertanda
(slgnrfled) atau makna.
Di dalam teori Saussure masalah makna yang
disebutnya sebagai konsep atau pertanda ternyata tidak diabaikan. Menurutnya,
tanda merupakan sarana untuk mencapai makna. Dengan teori yang kemudian itu,
Saussure, kata Derrida (Culler 1983:98) telah men-dekonstruksi teorinya
sendiri. Dengan istilah yang lebih tepat, wacana Saussure telah mendekonstruksi
dirinya sendiri.
Meskipun dengan dekonstruksionismenya Derrida
menolak eksistensi makna, persoalan makna bahasa tetap menjadi perhatian
manusia. Di dalam sistem bahasa, makna tetap memegang peranan yang penting.
Penentuan varian dan invarian dari sebuah fonem, misalnya, harus didasarkan
pada makna. Bunyi t dan th dalam rangkaian bunyi batu dan bathu dapat dikatakan
berbeda. Akan tetapi, perbedaan antara keduanya tidak bersistem, bukan
perbedaan linguistik, sebab makna kedua rangkaian bunyi yang mengandungnya
tidak berbeda. Makna yang menjadi penentu itu sendiri hanya terdapat dalam pikiran
manusia, baik yang terbagi (shared) maupun yang individual.
b. Kesadaran Kolektif
Kebudayaan
Yang
dimaksud dengan kebudayaan dalam tulisan ini adalah sistem semiotik yang di
luar sistem semiotik bahasa dan sastra. Hal itu dapat berkaitan dengan pola perilaku
tertentu, bentuk-bentuk tertentu, dan sebagai-nya. Sebagai sebuah sistem
semiotik, kebudayaan itu dipandang mempunyai aspek ekspresi yang fisik dan
aspek makna.
Para
ahli sastra yang mengakui eksistensi kebudayaan sebagai salah satu lokus makna
antara lain adalah Barthes (1975:20), Culler (1977:140-145), dan Teeuw
(1983:13). Kode penanda-penanda (semes) dari Roland Barthes (1975:119) dapat
pula dimasukkan ke dalam aspek kebudayaan ini.
Barthes
(1975:20) menyebutkan bahwa kode kultural adalah acuan-acuan kepada suatu ilmu
atau suatu tubuh pengetahuan tertentu seperti fisika, psikologis, medis, dan
historis. Sebagai sebuah kesadaran kolektif, di dalam buku ini tubuh
pengetahuan itu harus dianggap sebagai sesuatu yang sudah terbagi di kalangan
masyarakat.
Sebagai
misal, makna marah pada wajah merah dan tangan terkepal, makna gelisah pada
perilaku orang yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.Teeuw (1983:13—14) memandang kode budaya, sebagai
tempat spesifikasi makna.Dengan mengutip satu bagian kecil dari Wedhatama karya Seri Mangkunegoro
IV, ia menunjukkan bahwa makna yang terdapat dalam kesadaran kolektif
kebahasaan yang general saja tidak dapat dikatakan sebagai makna yang tepat
dari sebuah karya sastra.
c. Kesadaran Kolektif Kesastraan.
Barthes (1975:19). Culler
(1977:140), dan Teeuw (1983:14) tidak hanya mengakui eksistensi kesadaran
kolektif kebudayaan, melainkan juga kesastraan. Kode-kode Barthes yang dapat
dimasukkan ke dalam kesadaran kolektif kesastraan adalah kode hermeneutik dan
simbolik. Yang pertama berkaitan dengan pembentukan enigma
(pertanyaan-pertanyaan), pensugestiannya, perumusannya, penundaan
pemecahannya, dan pemecahannya. Seluruh tahap-tahap itu akan membentuk makna
tersendiri pada karya sastra yang bersangkutan. Yang kedua, berkaitan dengan
masalah kesatuan dalam kompleksitas. Pada kesadaran itu bertempat multivalensi
dan réversibilités makna yang dibentuk oleh berbagai sudut pandang.
Pandangan Lotman (1977:66) tentang simulta-nitas sistem
hubungan dalam karya
sastra serupa dengan pendapat
Barthes yang terakhir itu.
Vraisemblans-vreisemblans
Culler yang termasuk dalam kesadaran kolektif kesastraan adalah yang ketiga dan
keempat. Yang ketiga adalah konvensi genre, sedangkan yang keempat sikap
natural terhadap yang ketiga itu. Yang kelima adalah intertekstualitas, yaitu
adanya teks tertentu yang menjadi dasar dari teks tertentu yang lain.
Seperti halnya Culler,
Teeuw (1983:20) juga mengakui eksistensi genre dalam karya sastra. Selain itu,
ia juga mengemukakan lima hal lain yang berperan dalam signifikansi karya
sastra, yaitu prinsip koherensi, prinsip otonomi dunia sastra, dan prinsip
kebenaran universal.
Aspek nonempirik karya sastra itu terdiri dari kesadaran individual dan
kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif itu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu kesadaran kebahasaan, kebudayaan, dan kesastraan. Berdasarkan
tingkat generalitasnya, aspek-aspek karya sastra itu dapat disusun dalam bentuk
diagram berikut.
Aspek empirik mempunyai
tingkat generalitas yang tertinggi sebab bersifat objektif sehingga dapat diuji
oleh semua orang tanpa memperdulikan latar belkang sosial, budaya, dan
pengetahuannya.
Tingkat généralités bahasa dianggap lebih tinggi daripada tingkat
generalitas budaya dan sastra sebab hal itu mempunyai tingkat kelembagaan yang
tertinggi. Bahasa dipelajari oleh masyarakat sejak usia yang amat muda dan
dipergunakan dalam hampir segala kesempatan. Budaya dianggap lebih tinggi
daripada sastra karena hal itu dipelajari lebih dini dan dipergunakan lebih
sering daripada sastra. Budaya juga mempunyai tingkat penyebaran yang lebih
tinggi daripada sastra. Masyarakat bangsawan Jawa, umpamanya, mempunyai tradisi
sastra yang berbeda daripada masyarakat petaninya.
Di dalam kenyataan pikiran manusia unsur-unsur kesadaran manusia di atas
tidak merupakan kategori yang berdiri sendiri-sendiri dan saling terpisah,
melainkan saling berhubungan dan mungkin berbaur satu sama lain. Scholes
(1977:10) cenderung melihat unsur-unsur kesadaran itu berhubungan satu sama lain
secara hiererkis. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pemahaman karya sastra
dapat dilakukan secara bertahep. Tahap pertama pemehaman struktur karya sasta.
Tahap kedua pemahaman karya sastra dengan memasukkan struktur yang telah
ditemukan dalam tahap pertama itu ke dalam struktur yang lebih besar yaitu
sistem sastra. Tahap ketiga dilakukan dengan memasukkan sistem sastra ke dalam
sistem yang lebih besar yakni sistem kultural. Pendapat serupa itu tampaknya
diyakini pula oleh Teeuw (1983:61 ) seperti yang -terlihat dalam eseinya yang
berjudul "Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra".
Unsur-unsur itu mungkin memang bersifat kategorial, artinya dapat berupa
satuan-satuan yang berdiri sendiri-sendiri. Akan tetapi, sebagai fakta mental,
unsur-unsur itu mungkin pula berhubungan satu sama lain secara subversif
ataupun ekspansif. Unsur yang satu menembus ke dalam unsur yang lain sehingga
merusak unsur yang ditembusi itu. Kecenderungan tersebut tampak dengan jelas
dalam berbagai karya sastra.
Di dalam bukunya yang berjudul Semiotics
of Poetry, Riffaterre (1978:2) mengemukakan konsep ungrammaticallties sebagai salah satu
ciri puisi. Menurutnya, di dalam puisi terjadi penyimpangan dari tata-bahasa
umum. Hal itu disebabkan oleh adanya konvensi sastra untuk melakukan perusakan (distorting), pergeseran (displacing), dan penciptaan (creating) makna yang lain daripada
yang diberikan oleh tatabahasa. Sebagai contoh dapat dilihat kutipan berikut.
SAULINA
Bulan
menyebar Petikan gitar
Saulina tinggalkan
kampung Di jalan gunung
Saulina . . gadis remaja
puteri Di darahnya hidup Serta bulan redup
(Situmorang 1982:14)
Baris Di jalan gunung pada
bait pertama dan Serta bulan redup
pada bait kedua menampilkan penyimpangan dari tatabahasa Indonesia yang umum. Di jalan gunung menampilkan distori
makna sebab jalan gunung dapat
berarti nama jalan dan dapat berarti sifat jalan (jalan bergunung).
Kata depan Di merupakan kata
depan yang tidak jelas hubungannya dengan baris sebelumnya. Kata tinggalkan pada baris pertama lazimnya
menuntut kata depan ke atau
lewat.
Karena unsur-unsur kesadaran merupakan fakta' mental, fakta empirik, sukar
ditentukan unsur mana sesungguhnya yang melakukan ekspansi ke dalam unsur bahasa itu. Dari beberapa kasus
tertentu, yang agak dapat ditentukan adalah ekspansi unsur kultural. Hal itu dapat dilihat, misalnya dari
kecenderungan beberapa karya sastra Indonesia yang mempertahankan
kosakata-kosakata daerah tertentu. Umar Kayam di antaranya mempertahankan kata kelon, manten, dan lain-lain. Kata
lega lila dipertahankan Linus
dalam Pengakuan Pariyem.
Selain dalam lingkup aspek kesadaran, di dalam dunia sastra terdapat pula
hubungan ekspansif dan subversif antara aspek empirik dan nonempirik. Karena
ingin menekankan aspek empirik kata, Calzom Bachri (1981:13—14) berusaha
mengabaikan makna kata itu. Kecenderungan serupa itu terjadi pula di Perancis,
seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1968: ).
1. Karya Sastra sebagai Fakta
Kemanusiaan
Sebagaimana bahasa, karya sastra diciptakan bukan demi karya sastra itu
sendiri, bukan untuk menbangun makna itu sendiri. Bahasa, misalnya, digunakan
dalam kenyataan yang kongkret untuk berbagai tujuan. Ada yang digunakan sebagai
alat pembuat perjanjian, memberi sugesti, ajakan, melakukan sindiran, kritik,
dan sebagainya.
Menurut Goldmann (1981:40), sebagai fakta kemanusiaan karya sastra adalah
struktur yang berarti (significant structure).
Yang dimaksudkan adalah, bahwa penciptaan karya sastra adalah untuk mengembangkan
hubungan manusia dengan dunia. Dalam hal itu penciptaan karya itu sama
dengan penciptaan hal-hal lainnya, seperti membangun jembatan, membangun rumah,
memilih dalam pemilihan umum, dan sebagainya.
Karena sifatnya yang demikian, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari
subjek penciptanya (Goldmann / 1981:40—41). Hanya saja, Goldmann tidak
menyetujui anggapan bahwa subjek karya sastra adalah individu. Menurutnya,
karya sastra atau karya kultural yang besar merupakan ekspresi tentang citra
manusia dan semesta yang global. Setiap pekerjaan yang besar, misalnya membangun
rumah, mengangkat batu besar, lalu dilakukan oleh subjek kolektif. Oleh karena
itu, menurut Goldmann, subjek, karya
sastra bukanlah individu, melainkan kelompok. Pendapat bahwa
karya sastra bukan sesuatu yang abstrak dikemukakan pula oleh Seung (1982:38).
Menurutnya, penafsiran (decoding) "makna sebuah teks sastra hanya dengan
operasi semantik akan tetap membuat makna itu tidak pasti. Kalimat Anjing saya
dapat menggigit kamu, misalnya, memang dapat dipahami maknanya secara
semantik. Akan tetapi, orang masih
akan tetap bertanya-tanya mengenai maksud kalimat itu.
Dengan sistem semantik semata-mata tidak akan dapat dipahami, apakah dengan
kalimat itu pembicara hanya memberi informasi, mengingatkan, atau
menakut-nakuti. Oleh karena itu, menurut Seung dibutuhkan operasi sistem yang
lain yaitu sistem makna pragmatik. Makna pragmatik adalahmakna yang didapatkan
dalam penggunaan sistemsemiotik tertentu. Hal tersebut mau tidak mau harus
melibatkan pengguna tanda, intensi-intensinya, tindakan-tindakannya,
situasi-situasinya, dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Seung (1982:107), prinsip pragmatik yang universal adalah kecocokan
(appropriateness) : kecocokan antara yang dikatakan dengan cara mengatakan,
dan sebagainya. Masalah kecocokan itu hanya dapat diukur/ ditentukan dalam
konteks pragmatik, dengan mengacu pada norma-norma dan fungsi-fungsi pragmatik
(Seung 1982:109). Norma dan fungsi pragmatik itu sendiri secara historis
diberikan dan ditentukan (Seung 1982:113).
Sebuah karya sastra yang memenuhi norma-norma kebahasaan- tidak dapat
dikatakan memenuhi prinsip kecocokan kslau norma-norma kesastraan yang ada
justru menuntut penyimpangan dari norma kebahasaan. Norma-norma kesastraan itu
sendiri terikat pada ruang,, waktu dan kebudayaan tertentu.
Pada zaman Plato, misalnya peniruan merupakan unsur intrnsik karya sastra.
Pada zaman modern yang dituntut dari karya sastra adalah otonominya dari
berbagai aspek kehidupan lain: seni untuk seni itu sendiri.
- Kodrat Keberadaan Karya Sastra
Meskipun telah dapat memberikan gambaran mengenai berbagai aspek yang
mendukung keberadaan karya sastra, uraian dalam Bab III di atas belum dapat
memberikan jawaban tentang perbedaan objek itu dari fakta-faktar semiotik dan
kemanusiaan lainnya. Adanya aspek empirik dan nonempirik juga ditemukan dalam
fakta semiotik dan kemanusiaan lain seperti seni lukis, seni patung, wacara
ilmiah, wacana hukum, dan bahasa sehari-hari. Bab ini akan berbicara tenteng
kodrat karya sastra dalam pengertian kodrat yang membedakan karya itu dari
fakta semiotik dan kemanusiaan lainnya.
a.
Karya Sastra dan Fakta
Semiotik Lain
Sebagai fakta semiotik,
karya sastra adalah sistem tanda. Menurut Pierce (Hawkes 1978:126—128) penanda
adalah sesuatu yang bagi seseorang menjadi wakil dari sesuatu yang lain atas
dasar tertentu. Penanda disebutnya sebagai representamen, sesuatu yang lain
disebut objek, seseorang disebut interprétant, sedangkan dasar
disebutnya sebagai ground. Hubungan antara keempat hal itu menentukan kodrat
yang tepat dari suatu proses semiotik. Menurut Pierce, pada umumnya hubungan
Itu hanya terbatas pada tiga hal selain interprétant. Selanjutnya dikatakan
bahwa hubungan antara ketiga hal tersebut berada di dalam tiga jenis struktur
triadik yang terhadapnya hal atau unsur yang ketiga melakukan persepsi. Ketiga
jenis struktur triadik itu adalah sebagai berikut.
Hubungan triadik perbandingan atau kemungkinan logis yang didasarkan pada
jenis tanda. Hubungan triadik semacam itu adalah qualisign, yaitu sebuah
kualitas yang bertindak sebagai penanda pada saat kualitas itu diwujudkan;
sinsign, yaitu suatu kenyataan aktual atau peristiwa yang secara sederhana dan
tunggal bertindak sebagai penanda; dan legisign, yakni suatu hukum yang abstrak
misalnya gramatika yang bertindak sebagai tanda.
a.
Hubungan triadik penampilan
(performance). Hubungan ini melibatkan satuan aktual dalam dunia
nyata yang didasarkan pada ground. Termasuk dalam jenis itu adalah icon, yakni
sesuatu yang berfungsi sebagai penanda atas dasar ciri-ciri internalnya sendiri
yang menyamai petanda; indeks, yaitu sesuatu yang berfungsi sebagai penanda
atas dasar hubungan fak-turalnya dengan pertanda; dan simbol, yakni sesuatu
yang berfungsi sebagai penanda karena konvensi.
b. Hubungen triadik pikiran yang didasarkan pada jenis
objek. Yang termasuk di dalamnya adalah rheme (atau seme), yakni suatu penanda
yang mengindikasikan bagi interprétant
kemungkinan suatu objek yang dapat
dipahami; dicent (atau decisign atau
pheme) yang mengangkat informasi tentang objeknya; dan argumen, yaitu suatu
penanda yang objeknya terutama bukan sesuatu yang kongkret, meiainkan suatu
hukum.
Kombinasi antara kesembilan tipe tanda itu dapat melahirkan banyak sekali
jenis tanda yang amat berguna bagi epistimologi atau analisis tentang proses
perolehan pengetahuan. Meskipun demikian, menurut Pierce, kerangka kerja bagi
eksistensi pengetahuan cenderung berasal dari tipe tanda yang kedua, yakni
icon, indeks, dan simbol. Yang pertama merupakan tipe tanda yang menjiwai seni
rupa. Yang kedua terlihat dari hubungan antara asap dengan api. Yang terakhir
merupakan tipe tanda yang menjiwai bahasa.Teori Pierce itu menunjukkan bahwa
sistem tanda atau fakta semiotik itu bermacam-macam. Setiap jenis tanda
mempunyai cara kerja dan prosedurnya sendiri. Itulah sebabnya, pembicaraan
mengenai karya sastra sebagai fakta semiotik harus mempertirnbangkan hal-hal
berikut:
1. termasuk jenis tanda yang mana karya sastra itu,
2.
apa yang membedakan karya
sastra dengan jenis tanda yang lain dan dengan fakta semiotik yang sejenis.
Jenis Tanda Karya Sastra
Sebagai sebuah wacana, karya sastra tentu saja termasuk simbol. Wallek dan
Warren (1968:22) mengatakan bahwa karya sastra bematerikan bahasa. Hal itulah
yang membedakannya dari seni patung yang bermaterikan batu atau kayu dan seni
lukis yang bermaterikan cat serta seni suara yang bermaterikan bunyi. Berbeda
dari materi seni-seni lain itu, materi karya sastra bukan benda mati, melainkan
ciptaan manusia yang dengan demikian dibebani oleh warisan kultural dari suatu
kelompok-lingu-istik tertentu. Konsep warisan kultural itu tentunya dapat
disamakan dengan konsep konvensi dari Pierce di atas.
Meskipun secara mutlak tidak dapat mengingkari kehadiran bahasa, karya
sastra tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai simbol belaka. Karya sastra
juga mengandung ilusi visual dan tiruan bunyi yang tidak terikat pada konvensi
bahasa. Gambaran tempat, perilaku manusia, dan tiruan suara seperti suara
angin, suara -ombak, atau suara zero (kesunyian
yang tak bersuara), merupakan hal-hal yang selalu terdapat dalam karya sastra baik
prosa maupun puisi.
Selain mengandung ilusi visual dan tiruan bunyi, karya sastra mengandung
pula Ilusi kausal. Gambaran tempat, perilaku manusia, dan tiruan bunyi yang
terdapat dalam karya sastra seringkali tidak hanya hadir untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk akibat-akibat yangditimbulkannya. Gambaran "Joni membunuh
kucing" dalam Tanah Gersang, misalnya,
mempunyai petanda yang kompleks dan berantai." Gambaran itu pertama-tama
bersifat indikatif atau termasuk jenis rheme.
Petanda itu sendiri kemudian menjadi petanda yang bersifat kausal atau
termasuk jenis indeks.
Kenyataan di atas dapat membuat karya sastra tidak hanya dipandang sebagai
simbol, melainkan juga indeks dan ikon atau bahkan jenis tanda yang lainnya.
Kesan serupa itu diperkuat pula oleh dimensi visual dari bahasa tulis yang
menjadi materi dari sastra tulis. Pendek kata, karena karya sastra memberikan
ilusi mengenai kehidupan, seluruh jenis tanda yang ada dalam kehidupan dapat
menjadi jiwanya.
Sampai di sini uraian mengenai kodrat semiotik karya sastra tampaknya telah
dapat membawa pada satu kesimpulan. Akan tetapi, persoalannya sesungguhnya
tidak sesederhana itu. Kehadiran ilusi nonsimbolik di atas belum tentu tidak
konvensional. Tiruan bunyi ayam, misalnya ternyata berbeda-beda sesuai dengen
perbedaan daerah kebahasaan yang mengandungnya. Masyarakat Asmat belum tentu
memandang foto dirinya sebagai tiruan dari dirinya. Pembunuhan terhadap kucing
yang dilakukan oleh Joni belum tentu mengindikasikan hal yang sama bagi
masyarakat yang berbeda.
Kenyataan itulah yang mungkin membuat Barthes dan Culler (Culler 1977:140)
memandang segala hubungan penanda dan- petanda sebagai sesuatu yang tidak
kodrati dan universal, melainkan sesuatu yang konvensional, yang hanya didapat
lewat pengetahuan atau proses belajar. Pengetahuan psikologi, sosiologi, dan
lain-lainnya yang digunakan sebagai alat memahami petanda dari suatu penanda
adalah juga suatu konvensi.
Seluruh uraian di atas menunjukkan
bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah jenis simbol yang kompleks. Kalau
seni rupa merupakan simbol visual, seni suara simbol suara, karya sastra
merupakan simbol visual, suara, bahasa, indikatif, kausal, dan sebagainya. Segala jenis tanda
yang terdapat dalam kehidupan menjiwai karya sastra karena wacana itu menampilkan ilusi kehidupan itu
sendiri.
- Karya Sastra dan Wacana Lain
Karya sastra adalah sebuah wacana. Akan tetapi, karena masih amat abstrak,
kesimpulan itu belum mampu memberikan gambaran mengenai perbedaan antara karya
sastra dengan wacana lain seperti wacana ilmu pengetahuan, kitab suci, dan
bahasa sehari-hari.
Pembicaraan mengenai
perbedaan antara wacara sastra dengan wacana lain kiranya dapat dimulai dari
Jakobson sebab tokoh itu mengemukakan
sebuah skema yang cukup luas. Jakobson (1972:85—86) melalui pembicaraannya
dengan sebuah pertanyaan: "What makas a verbal message a work of
art?". Dengan pertanyaan itu jelas
bahwa ia ingin mengetahui ciri yang membedakan verbal message
yang tidak menjedi karya seni dengan yang menjadi karya seni. Yang tidak menjadi
karya seni itu dapat berupa
wacana ilmiah, bahasa sehari-hari, dan sebagainya.
Untuk menjawab pertanyaan itu Jakobson
(1972:89) meneliti lebih dahulu faktor-faktor yang membangun setiep peristiwa
komunikasi verbal. Fektor pertama adalah "pengirim tanda verbal" yang
mengirimkahfaktor kedua atau "tanda verbal" kepada faktor ketiga atau "penerima tanda
verbel". Agar dapat operatif tanda verbal itu menuntut faktor keempat atau "konteks" atau referen. Agar dapat komunikatif
harus terdapat faktor kelima atau "kode" yang, baik sebagian maupun
keseluruhan, terbagi antara pengirim dan penerima. Ko-muniKasi verbal itu tidak
akan mungkin terbangun tanpa adanya saluran fisik ataupun psikologis yang menghubungkan
pengirim dan penerima. Saluran itu merupakan faktor keenam dan disebut
"kontak".
Menurut Jakobson (1972:89—95), faktor-faktor pembangun itu menentukan
fungsi-fungsi bahasa. Faktor pertama membuahkan
fungsi ekspresif bahasa, yang kedua fungsi puitik, yang ketiga fungsi konatrf,
yang keempat fungsi referential,
yang kelima fungsi metalanguage,
sedangkan yang keenam fungsi phatic.
Fungsi pertama melayani diri pengirim, fungsi kedua penanda verbal itu
sendiri, fungsi ketiga penerima, fungsi keempat referen, fungsi kelima kode,
sedangkan fungsi keenam mementingkan konteks.
Meskipun dapat dibedakan menjadi enam faktor pembentuk dan enam fungsi,
sukar ditemukan message-message verbal
yang hanya memenuhi satu fungsi saja (Jakobson 1972:89—90). Suatu message
biasanya mengandung lebih dari satu
fungsi. Meskipun demikian, struktur message itu biasanya
ditentukan hanya oleh satu fungsi yang dominan. Hukum itu berlaku juga bagi
wacana sastra. Menurut Jakobson
(1972:93), karya sastra mengandung lebih
dari satu fungsi. Akan tetapi, strukturnya ditentukan oleh satu fungsi saja,
yakni fungsi puitik.
Dominasi fungsi puitik itulah yang membuat wacana sastra berbeda dari
wacana lainnya, baik wacana ilmiah yang menekankan pada referen, wacana
"upacara" yang menekankan pada kontak, dan lain-lain.Pendapat Jakobson yang terakhir itu disetujui oleh Wellek dan Warren (1968:25). Menurut
mereka, meskipun perbedaannya dengan wacana lain amat cair, wacana sastra
mempunyai ciri khusus yaitu mengandung fungsi estetik yang dominan. Selain
persamaan itu, antara teori Wellek dan Warren dengan Jakobson terdapat pula
perbedaan. Bahasa atau wacana sastra mengandung sisi ekspresif dan pragmatik di
samping sisi.
Sesungguhnya tidak hanya perbedaan umum antara wacana
sastra dengan wacana lain saja yang dibicarakan Wellek dan Warren. Di samping itu
mereka juga berbicara tentang perbedaan antara wacana sastra dengan wacana
ilmu. Menurut mereka, perbedaan antara kedua jenis wacana itu berkisar pada
perbedaan antara sifat konotatif dan denotatif, antara tekanan pada penanda dan
referen, dan antara sifat unamblgous dan sifat ambigu makna (Wellek dan Warren
1968:22-23).
Lotman menganggap wacana atau teks ilmiah bersifat
umum-bluous, berorientasi pada hukum-hukum umum dan gagasa abstrak. Sebaliknya,
teks sastra, baik detail-detailnya maupun keseluruhannya, masuk dalam berbagai
sistem hubungan sehingga menghasilkan secara simultan lebih dari satu makna.
Menurut Platt
(1977:67-68), peneliti empirik labov mengenai cerita pengalaman personal yang
seharusnya termasuk dalam bahasa nonsastra menunjukkan bahwa teori-teori
mengenai bahasa nonsastra yang terdahulu sama sekali tidak benar. Semua ciri
bahasa sastra seperti yang dikemukakan oleh kaum formalis terdapat juga dalam
cerita pengalaman personal itu. Oleh karena itu, persoalan bahasa sastra
sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanya sastra(Pratt 1977:78).
Dengan berdasarkan
mendasarkan diri pada teori tindak tutur Pratt(1977:86) beranggapan bahwa
sastra adalah konteks tutur. Berdasarkan tuturan-tuturan lainnya, cara
masyarakat masyarakat memahami dan memproduksi karya sastra tergantung pada
pengetahuan tentang hukum-hukum, konvensasi-konvensasi, dan harapan-harapan
yang tak terucapkan, dan secara kultural terbagi. Seperti halnya penentuan
tentang penjelasan, ungkapan terima kasih, persuasi, harus meliputi informasi
kontekstual yang menjadi sandaran bagi partisipan, penentuan tentang kesastraan
pun demikian. Contoh konkret dari hal itu adalah penentuan genre sastra.
Wellek dan Warren
(1968:96:27) mencoba membedakan karya sastra dari wacana lain dari segi sifat
imajinatif dan fiktifnya. Pratt (1977:96:98) menolak wacana itu. Penolakannya
itu didasarkan pada tiga hal, yaitu :
1.
Batas antara fiksi dan nonfiksiitu kadang tidak jelas.
2.
Seringkali ada konteks yang menuntut tidak tertentukannya
batas antara fiksi dan nonfiksi.
3.
Ada kasus-kasus yang dapat membuat orang orang berbeda
pendapat mengenai fiksi dan nonfiksi.
Dalam perbedaan antara karya sastra dengan nonsastra pratt akhirnya
menggunakan pendekatan kontekstual. Menurutnya ada tiga faktor yang jelas dan
dapat digunakan untuk mengindentifikasi situasi, pertama, karya sastra termasuk
kelas tutur yang dialamatkan pada Audiens. Kedua, dalam kelas itu karya sastra
termasuk subkelas yang mempradugaan adanya suatu proses sileksi dan persiapan.
Ketiga, karya sastra itu termasuk subkelas yang relevansinya adalah sasaran
mempermainkan pengalaman.
Berikut ini uraian mengenai kodrat karya sastra
sebagai fakta semiotik.
1.
Karya sastra dapat dibedakan dari karya seni lainnya dari
ciri-ciri intrinsiknya.
2.
Ciri-ciri intrinsik yang menjadi perbedaan itu adalah sebagai
berikut: (a)Materinya adalah hal yang bersifat simbiotik. (b)Petanda bahasanya
dapat menjadi penanda visual, auditori, dan sebagainya, yang juga bersifat
simbolik.
3.
Perbedaab antara karya satra dengan wacana lain tidak dapat
ditentukan secara intrinsik, melainkan secara kontekstual.
4.
Konteks itu berupa situasi tutur sastra yang terbangun atas
tiga faktor sebagai berikut: (a) audiens harus menjadi partisipan pasif dalam
komunikasi sastra, (b) kepasifan audiens itu disebabkan oleh kelayakan cerita
dari hal yang dikemukakan karya sastra, (c) kepasifan itu dimungkinkan pula
oleh kepercayaan audiens dalam proses persiapan dan sileksi yang telah dipahami
karya sastra itu.
2.
Karya Sastra dan Fakta kebudayaan lain
Fakta kemanusiaan adalah peristiwa
sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak dipandang sebagai penanda dari suatu
petanda yang bersifat konvensional. Perbedaab antara karya sastra dengan fakta
kemanusiaan lain dapat dilakukan dengan mudah. Fakta kemanusiaan lain merupakan
aktivitas fisik, sedangkan karya sastra merupakan aktivitas verbal. Meskipun
perbedaan antara kedua kutub fakta itu tampak jelas, kasus-kasus yang
mengaburkannya sering juga terjadi. Pertama, peristiwa-peristiwa fisik baik
yang sosial, politis, maupun ekonomis, seringkali dianggap sebagai indikator
dari suatu yang lain. Kedua, di dalam karya sastra terkandung ilusi
peristiwa-peristiwa fisik yang sama dengan peristiwa-peristiwa fisik dalam
pengertian di atas.
Strukturalisme-Genetik
Tempat
Strukturalisme-Genetik dalam Perkembangan Teori Sastra
Sepanjang sejarah
pemahaman karya sastra didasarkan pada berbagai asumsi mengenai karya sebagai
objek pemahamn itu. Yang sebagian pemahaman yang didasarkan pada asumsi bahwa
karya sastra merupakan objek otonom, objek yang memenuhi dan mengatur dirinya
sendiri, sedangkan yang sebagian lainnya pemahaman yang didasarkan pada asumsi
bahwa karya sastra merupakan objek yang terikat pada pengarang, realitas, dan
audiennya (Abrams 1979:6-29).
- Teori Otonom Karya dan Perkembangannya
Dari hasil penelitian abram
(1979) dapat diketahui bahwa teori yang berorientasi pada realitas(semesta)
yang disebutnya sebagai teori kritik memetik bermula dari Plato dan dominan
pada abad ke-18. Teori yang beroriaentasi pada audiens yang disebutnya sebagai
teori kritik pragmatikbermula dari horace dan dominan pada abad ke-18 pula.
Kekhasan bahasa sastra itu tampak pada kecendrungannya untuk mengarahkan
perhatian pembaca pada unsur formal dan hubungan antara tanda-tanda kebahasaan
bahasa itu sendiri.
- Teori General
Konsep abstrak terbangun
dari beberapa konsep yang lebih konkret dan bahkan konkret atau dapat diamati.
Di dalam sosiologi sastra, umpamanya, dikenal konsep lembaga sosial. Konsep itu
lebih abstrak daripada konsep peranan. Pada gilirannya, konsep peranan,
misalnya pasien, terbangun dari beberapa konsep yang lebih konkret, misalnya
orang yang membuka pakaian di depan dokter, bersedia tunduk pada otoritas
dokter, merasakan kurang enak badan (Paul Johnson 1986:37).
- Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan adalah
segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun yang
fisik, yang berusaha difahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud
aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, aktivitas inndividual tertentu,
dan juga filsafat.
- Subjek Fakta Kemausiaan
Freud selalu menganggap
subjek segala hasil perilaku manusia sebagai seorang individu tertentu
(Goldmann 1981:93). Menurut Goldmann (1970:597), tidak semua fakta kemanusiaan
bersumber dari subje individual. Secara intuitif pun semua orang dapat mengenal
perbedaan antara, misalnya sebuah revolusi sosial atau karya kultural yang
besar dengan mimpi-mimpi atau prilaku orang gila. Oleh karena itu, usaha
mengembalikan fakta yang pertama itu ke sumber yang hanya merupakan subjek
individual merupakan pemerkosaan terhadap kodrat fakta itu sendir.
- Strukturasi, Pandangan Dunia, dan Struktur
Struktural adalah konsep
aktivitas ketegorial dari fikiran atau perasaan suatu subjek tertentu. Dalam
hubungannya dengan karya kultural yang besar, termasuk karya sastra yang besar,
aktivitas tersebut disebut pandangan dunia. Menurut Goldmann (1977:15),
pandangan dunia itu sama dengan konsep kesadaran kolektif yang biasa digunakan
dalam ilmu sosial.
- Estetika Sosiologi dan Estetika Sastra
Sifat tematik konsep
struktur Golmann merupakan hal yang tidak terelakkan. Hal itu disebabkan oleh
anggapannya bahwa karya sastra merupakan ekspresi dan produk strukturasi
pandangan dunia. Usaha pencarian dan penentuan hubungan antara pandangan dunia dengan
semesta tokoh-tokoh dan objek-objek yang diciptakan dalam karya sastra tertentu
disebutestetika sosiologi (Golmann 1977:316).
Di sampning estetika sosiologis, Golmann mengemukakan
pula perlunya estetika sastra bagi strukturalisme-genetik. Estetika yang kedua
itu berusaha mencari dan menemukan hubungan antara semesta karya satra dengan
perelatan-peralatan formal tertentu seperti gaya imaji-imaji, sintaksis, dan
sebagainya (Golmann 1977:315,136). Meskipun demikian, pengakuannya ia belum
melakukan penelitian dengan estetika yang kedua tersebut.
Perkembangan
Teori
1.
Fase Hiden God
Hiden God adalah buku Golmann yang memuat hasil
penelitiannya mengenai karya-karya filsafat Pascal dan drama-drama Recine.
Laporan penelitian mengenai karya- karya
filsafat Pascal dan drama-drama Recine oleh Golmann ini dimulai dengan uraian
mengenai dasar teori dan metode yang digunakannya. Setelah itu ia memaparkan
konsep mengenai pandangan dunia tragik yang menurutnya merupakan pandangan
dunia yang diekspresikan oleh karya-karya kedua orang yang ditelitinya
tersebut. Di dalam bab berikutnya Golmann kemidian memaparkan hubungan antara
pandangan dunia tragik yang telah disampaikannya tersebut dengan kelompok
sosial tertentu yang ada di Perancis pada saat pandangan dunia itu lahir, yaitu
kelompok sosial yang ada sekitar pertengahan abad XVII.
a.
Pandangan Dunia Tragik
Menurut Golmann (Faruk, 1988: 80) pandangan dunia
tragik mengandung tiga elemen, yakni pandangan mengenai Tuhan, dunia, dan
manusia. Pandangan tragik mengenai semua elemen tersebut bercirikan dua hal
yang sangat bertentangan. Pertama, pemahaman secara lengkap dan tepat mengenai
dunia baru yang diciptakan oleh individualism rasionalistik beserta
tuntutan-tuntutan yang berharga dan secara ilmiah shahih. Kedua, penolakan
secara total untuk menerima dunia tersebut sebagai satu-satunya dunia yang
memungkinkan manusia hidup, bergerak, dan mempunyai keberadaan. Kedua hal ini
menurut Golmann bertentangan dalam waktu yang bersamaan dalam pandangan dunia
tragik.
1.
Subjek Kolektif dan
Lingkungan Sekitarnya
Pandangan dunia merupakan iklim general dari pikiran
dan perasaan suatu kelompok sosial tertentu yang ada pada yaitu kelompok sosial
yang ada sekitar pertengahan abad XVII di Perancis. Kelompok sosial yang
dianggap sebagai subjek kolektif hanyalah kelompok sosial yang
gagasan-gagasanya serta aktivitas-aktivitasnya cenderung ke arah penciptaan
suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan sosial manusia.
Kelompok serupa iitu adalah kelompok kelas sosial (Faruk, 1988: 84).
2.
Fase Malraux
Sesudah menerbitkan buku hasil penelitiannya mengenai
karya-karya filsafat Pascal dan drama-drama Recine, bulan Januari 1961 Golmann
diminta memimpin sebuah penelitian sosiologi sastra secara berkelompok dengan
bermula pada penelitian tentang novel-novel Malraux. Karena objek yang
ditawarkan amat berbeda dari objek yang pernah ditelitinya, Golmann menerima
tawaran tersebut.
a.
Novel dan Jenis-jenisnya
Dengan mendasarkan diri pada teori Lukacs dan Girard,
Golmann mendevinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang
terdegradasi akan nilai-nilai otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang
problematik dalam sebuah cerita yang juga terdegradasi.
Yang dimaksud nilai otentik adalah nilai-lai yang
mengorganisasikan dunia novel secara keselruhan meskipun hanya secara implisit,
tidak eksplisit. Nilai-nilai tersebut hanya ada dalam kesadaran si novelis,
tidak ada karakter-karakter sadar atau realitas yang konkret (Faruk, 1988: 89).
Atas dasar definisi itulah kategorosasi novel yang dipinjam
Goldmann dari Lukacs dibuat. Goldmann membedakan novel menjadi tiga jenis,
yaitu novel idealism abstrak, novel psokologis, dan bildungs roman. Yang
pertama adalah novel yang bercirikan aktivitas hero dan kesadarannya yang
terlampau sempit dibandingkan kompleksitas dunia. Contohnya adalah Don Quixote.
Yang kedua novel bercirikan analisis mengenai kehidupan batin, pasivitas hero,
dan kesadarannya yang terlampau luas untuk dapat dipuaskan oleh apa yang
ditawarkan oleh dunia konvensi. Contohnya adalah L’ Education Sentimentale.
Yang ketiga bercirikan pembatasan yang dipaksakan pada diri (self-imposed imitation). Meskipun telah
meepaskan pencarian yang problematik, sang hero tidak menerima dunia novel yang
disebut dengan “kematangan yang jantan” itu antara lain adalah karya Goethe
yang berjudul Wolheim Meister.
1.
Nilai-nilai Masyarakat
Pasar
Golmann mengatakan bahwa bentuk novel tampaknya
merupakan trasposisi ke dataran sastra sehari-hari dalam masyarakat
individualistik yang diciptakan oleh produksi pasar. Menurutnya ada kesejajaran
antara bentuk literer novel, sebagaimana didefinisikan, dengan hubungan
sehari-hari antara manusia dengan komodoti pada umumnya atau secara lebih luas
antara manusia dengan sesamanya dalam masyarakat pasar.
2.
Subjek Kolektif
Konsisten dengan teori generalnya, Goldmann menganggap
bahwa pandangan dunia merupakan suatu kesadaran kolektif. Menurutnya karya
sastra bukan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang nyata da nada,
melainkan puncak dari suatu level yang sangat tinggi dai koherensi
kecenderungan-kecenderungan yang khusus bagi suatu kelompok tertentu, suatu
kesadaran yang harus dipahami sebaga suatu realitas dinamik yang diarahkan ke
satu bentuk keseimbangan tertentu.
Identifikasi subjek karya sastra sebagai subjek
kolektifserupa dengan identifikasi subjek yang dilakukan Goldmann dalam
penelitiannya mengenai karya-karya filsafat Pascal dan drama-drama Recine. Akan
tetapi, di samping persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Kalau
sebelumnya Goldmann melihat subjekitu sebagai kelas sosial, dalam penelitiannya
mengenai karya Malraux, ia melihatnya hanya sebgai kelompok menengah yang
berada di luar kelas sosial.
Seperti diketahui, teoti umum mengatakan bahwa
masyarakat modern yang kapitalistis terbangun dari oposisi antara kelas
kapitalis dengan kelas proleter. Menurut Goldmann pembagian yang Marxistis itu
tidak akan mampu memahami fenimena sastra modern khususnya karya-karya Malraux.
- Analisis Karya-karya Malraux
Goldmann tidak
memusatkan perhatiannya pada seluruh karya. Yang menjadi pusat perhatiannya
adalah karya-karya yang tergolong novel saja, yaitu karya yang keempat, kelima,
dan keenam (Goldman 1977:19). Tiga karya pertama merupakan cerita fantastik dan
alegoris (Goldmann 1977:19), sedangkan karya-karya lainnya termasuk epikolirik
dan esei yang bersifat konseptual (goldmann 1977:19).
Penekanan perhatian itu
tidak dapat diartikan sebagai pengabaian terhadap hal yang tidak dapat
penekanan tersebut. Sebagai rangkaian sejarah penciptaan, karya-karya sebelum
dan sesudah periode penciptaan novel itu juga disinggung serba sedikit. Begitu
pula latar belakang sosial dan ekonomi yang melahirkannya.
Goldmann (1997:28)
mengatakan bahwa tiga karya yang pertama merupakan hasil cipta Malrauc yang
masih berada dalam tahap belajar dan mencari. Meskipun demikian, karya itu
memperlihatkan kesensitifan pengarangnya terhadap krisis nilai yang terjadi
dalam masyrakat Eropa Barat. Karya-karya itu bercerita mengenai kekuasaan
kerajaan maut yang mencekam (Goldmann 1977:22).
Meskipun semuanya
tergolong dalam novel, karya Malraux
yang keempat dan kelima berbeda dengan yang keenam. Dalam dua novel yang
pertama itu yang menjadi hero adalah subjek individual, sedangkan dalam novel
yang ketiga yang menjadi hero adalah subjek kolektif (Goldmann 1977:30).
Problematik hero individual dalam dua novel yang pertama bersangkutan dengan
adanya maut dan ketidakhadiran kekuatan transindividual (Goldmann 1977:32),
sedangkan problematik hero kolektif bersangkutan dengan konflik antara ikatan
spontan pada ideologi dengan disiplin pada partai (Goldmann 1977:65).
Sesuai dengan hipotesis
dasarnya Goldmann (1977:29) memberikan garis besar mengenai perkembangan
karya-karya Malraux itu sebagai berikut.
Dalam hubungannnya
dengan intelektual kiri Prancis yang menjadi kelompok sosial Malraux (Goldmann
1977:84), nilai-nilai universal itu adalah gerakan komunisme internasional.
Karena ternyata komunisme bukanlah nilai-nilai yang universal, melainkan justru
hanya suatu ideologi tertentu yang membawa kepentingan negara itu sendiri
(Goldmann 1977:144), kelompok intelektual kiri Prancis menjadi kecewa dan
kehilangan kepercayaannya. Hal ini terungkap dalam Les Noyers del’Altenburg.
- Fase Novel Baru (Nouveau Roman)
Dalam uraiannya mengenai
karya-karya Malraux Goldmann (1977:29-30) mengkategorikan karya sastra sejak
novel menjadi tiga kategori. Yang pertama novel dengan hero problematik, yang
kedua novel dengan karakter non-biografis, dan yang ketiga novel yang lahir di
satu pihak dari kenyataan lenyapnya dasar sosial ekonomik dan individualisme,
di lain pihak dari kenyataan bahwa evolusi sosial, ekonomik, dan kultural,
belum cukup tinggi untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi suatu krisatalisati
yang pasti dari novel tanpa hero dan tanpa karakter.
- Latar Belakang Sosial Ekonomi
Kenyataan sosial-ekonomi
yang melatar belakangi bentuk novel adalah struktur pertukaran yang
reifikasional. Babakan waktu dari perkembangan struktur reifikasi itu adalah
sebagai berikut (Goldmann 1977:135-136).
a.
Dari awal kelahirannya sampai dengan awal abad XX ekonomi
liberal masih mempertahankan fungsi esensial dari individu dalam kehidupan
ekonomik dan dengan demikian kehidupan sosial.
b.
Sejak akhir abad XIX hingga awal abad XX sistem ekonomi
bergeser dari sistem kapitalisme liberal ke sistem kapitalisme imprealisme.
Pergeseran itu mengakibatkan timbulnya tekanan terhadap kepentingan esensial
dari individu dan kehidupan individual dalam struktur ekonomik dan dengan
demikian kehidupan sosial secara keseluruhan
6.
Karya-karya Novel Baru
Dua periode terakhir
yang dikemukan di atas, menurut Goldmann (1977:138-139), berhubungan dengan dua
periode besar dalm sejarah bentuk novel. Yang pertama bercirikan kehancuran
karakter seperti yang terlihat dalam karya Joyce, Kafka, Musil, Sertre (La
Nausee), Camus (L’Etranger), dan terutama sekali karya-karya Nathalie Sarraute.
Yang kedua bercirikan kemunculan dunia objek-objek yang memunyai struktur dan
hukum-hukumnya sendiri dan yang lewatnya manusia mengekspresikan diri. Karya
yang kedua ini merupakan karya sastra yang baru.
METODE
PENELITIAN
- Metode Positivistik
Metode positivistik
adalah metode analisis tekstual. Menurut Goldmann (1977:8), metode itu
mempertimbangkan teks sebagai titik awal dan akhir dari penelitian meskipun
tidak berusaha menangkap makna yang lebih kurang koheren.
Menurut Goldmann
(1977:9-10), metode semacam itu akan menghadapi dua kesukaran. Yang pertama
kesukaran dalam menentukan teks yang esensial dan aksidental. Yamg kedua
kesukaran yang berupa ketidakpastian atau ambiguitas makna.
Alat yang disediakan
oleh metode positivistik dalam menentukan karya yang esensial dan karya
aksidental biasanya adalah kriteria esterik (Goldmann 1977:14). Akan tetapi,
alat itu memunyai kelemahan pokok. Yang pertama dan utama adalah sifat
subjektifnya, sedangkan yang kedua ketidakmampuannya menerangkan karya-karya
kultural lain.
Selain tidak mampu
menentukan karya yang esensial dan aksidental, metode positivistik juga tidak
dapat memecahkan persoalan ambiguitas makna. Menurut Goldmann (1977:10), dalam
pandangan pertama makna karya sastra itu tidak dengan sendirinya pasti dan
tidak ambigu. Kata-kata, kalimat dan frase-frase yang tampaknya mirip dan
bahkan identik, dapat memunyai makna yang berbeda apabila ditempatkan dalam
konteks yang berbeda. Persoalan serupa itu tidak akan dapat dipecahkan oleh
metode positivistik.
- Metode Biografis
Menurut Goldmann
(1977:9), metode biografis serupa itu tidak akan membuahkan hasil yang
meyakinkan (reliable). Kesimpulan itu dibuatnya atas dasar tiga alasan berikut.
Pertama, tulisan aktual
seorang pengarang pada hakikatnya membangun hanya satu sektor dari perilaku
pengarang itu, satu sektor yang selalu tergantung pada struktur fisiologis dan
psikologis yang kompleks yang mengalami perubahan-perubahan besar sepanjang
kehidupannya.
Kedua, dalam
kehidupannya pengarang selalu berada dalam sejumlah besar situasi-situasi
khusus yang tidak terbatas situasi-situasi itu seringkali mirip satu sama lain,
tetapi juga berbeda dan penuh variasi.
Ketiga,
pengarang-pengarang dari masa lalu sudah mati, tidak dapat ditemui dan ditanyai
lagi. Sementara itu , informasi mengenai akan amat terbatas. Jauh lebih
terbatas daripada kenyataan hidup pengarang itu.
- Metode Intuitif
Metode intuitif adalah
metode pengetahuan sastra yang didasarkan pada perasaan-perasaan dari simpati
dan afinitas persoanal (Goldmann 1977:8). Menurutnya metode intuitif bukanlah
metode ilmiah. Oleh karena itu ia tidak mebicarakannya lebih jauh.
- Metode Dialektik
Metode dialektik adalah
metode strukturalisme genetik yang ditawarkan Goldmann. Dari segi titik awal
dan titik akhirnya merode ini sama dengan metode posivistik. Sama-sama bermula
dan berakhir pada teks sastra. Perbedaannya hanya terletak pada masalah
koherensi. Berbeda dengan metode yang kedua, metode dialektik menaruh perhatian
pada makna yang koheren (Goldmann: 1977:8).
Prinsip dasar dari
metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas
adalah pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila
tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikan ke dlam keseluruhan (Goldmann
1977:7). Sehubungan dengan hal itu, metode dialektik mengembangkan dua pasangan
konsep, yaitu “keseluruhan bagian” dan pemahamanppenjelasan” akan dijelaskan
lebih dahulu konsep sudut pandang dialektik yang lebih umum.
- Sudut Pandang Dialektik
Menurut Goldmann
(1977:5), sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik
awal yang secara mutlak valid, tidak adanya persoalan yang secara final dan
pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak
pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual
memunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan
hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta
pertial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu.
- Siklus Keseluruhan Bagian
Menurut Goldmann
(1970:602-603), teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar serupa itu
berlansung, sebagai berikut: pertama, peneliti membangun sebuah model yang
dianggapnya memberikan probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia
melakukan pengecekan terhadap model dengan membandingkannya dengan keseluruhan
(paragraf demi paragraf untuk kasus prosa, baris demi baris untik puisi, ucapan
demi ucapan untuk kasus drama) dengan cara menentukan (1) sejauh mana setiap
unit yang dianalisis tergabungkan dengan hipotesis menyeluruh, (2) daftar
elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang tidak diperlengkapi dalam model
semula, (3) frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapinya
dalam model yang sudah dicek itu.
Demikian metode
dialektik yang telah dibedakan dari metode positivistik dan tradisional,
menurut Goldmann (1977:14), hanya dengan metode
dialektik itulah dapat ditentukan karya yang esensial dan yang
aksidental. Instrumen penentuan itu adalah pandangan dunia sebab karya sastra
merupakan ekspresi darinya. Goldmann (1977:15), mengatakan bahwa pandangan
dunia merupakan kesadaran kolektif yang digunakan sebagai suatu hipotesis kerja
yang konseptual untuk pemahaman mengenai cara individu mengekspresiakan
gagasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar