Rabu, 03 Desember 2014

RINGKASAN BUKU STRUKTURALISME GENETIK DAN EPISTEMOLOGI SASTRA KARYA FARUK H.T



EPISTEMOLOGI  SASTRA
  1. Kondisi Keberadaan Karya Sastra
Karya sastra adalah objek manusiawi, faktor kemanusiaan, atau fakta kultural, sebab merupakan hasil ciptaan manusia. Meskipun demikan karya itu mempunyai eksistensi yang khas, yang membedakannya dari fakta kemanusiaan lainnya seperti sistem sosial dan sistem ekonomi. Karya sastra merupakan satuan yang dibangun atas hubungan antara makna dan tanda dan antara ekspresi dengan pikiran. Dalam pengertian serupa itu, Mukarovsky (1978:82-88) menyebut karya sastra khususnya dan karya seni umumnya  sebagai fakta semiotik. Kondisi keberadaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan yang bersifat semiotik itu amat perlu diperhatikan. Sebagai faktar kemanusiaan, karya sastra merupakan ekspresi dari kebutuhan tertentu manusia, sedangkan sebagai fakta semiotik karya itu mempunyai suatu ciri khas yang perlu diketahui.
a.       Karya Sastra Sebagai Fakta Semiotik
Sebagai fakta semiotik, karya sastra mempunyai eksistensi ganda, yakni sekaligus berada dalam dunia inderawi dan dunia kesadara. Aspek keberadaannya yang pertama dapat ditangkap oleh indera manusia, sedangkan aspek keberadaannya yang kedua tidak dapat dialami oleh indera.

b.      Aspek Empirik Karya Sastra
Karya sastra dilihat atau didengar lewat aspek tulisan atau bunyinya. Aspek bunyi dan tulisan itulah yang menjadi aspek empirik karya sastra, aspek yang dapat dialami indra manusia. Tulisan aatau bunyi tidak barubah dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat diuji oleh orang lain pada kesempatan tertentu. Tulisan adalah simbol bunyi. Bunyi itu sendiri didengar sebagai suatu arus bunyi yang berangkai dan berkesinambungan. Kenyataan itu akan dapat diketahui dengan amat jelas apabila orang mendengarkan bahasa asing yang tidak diketahuinya. Karya sastra tidak hanya mempunyai aspek tanda melainkan juga mempunyai aspek makna. Aspek makna itu tidak akan dapat dipahami hanya dengan metode empirik. Dalam banyak hal aspek makna itu justru menentukan perilaku aspek empirik.

c.       Aspek Nonempirik Karya Sastra
Pada umumnya yang dipandang sebagai lokus makna adalah kesadaran manusia. Meskipun demikian, karena tidak  dapat atau sukar didekati, terdapat berbagai macam pendapat mengenai sifat kesadaran itu. Ada yang menganggapnya  terletak dalam kesadaran pengarang dan ada pula yang menganggapnya  terletak dalam kesadaran kolektif. Pandangan mengenai kesadran kolektif pun berbeda-beda. Ada yang memandangnya terletak dalam kesadaran kolektif kebahasaan, didalam kesadaran kolektif kebudayaan, dan ada pula yang memandangnya terdapat dalam kesadaran kolektif kesastraan.

1.Kesadaran Individual
Kecenderungan menempatkan makna pada kesadaran inividual merupakan kecenderungan yang tidak terelakan sebab hanya pengarang yang berhubungan langsung dengan karyanya ( cf. Mukarovsky dalam Steiner 1978 : xxxviii). Husserl (Seung 1982 :18-25), Drijarka S.J (1981;126-128) membagi tanda-tanda linguistik menjadi dua kelas yaitu indikasi dan ekspresi. Tanda indikatif mengindikasikan objek tertentu yang ada dalam kenyataan, sedangkan tanda ekkspresif mengekspresikan makna yang ada dalam ppikiran yang merupakan esensi dari objek. Kalau objek dapat diketahui, makna tidak dapat diketahui. Ekspresi makna misalnya melalui bahasa tidak identik dengan makna itu sendiri sebab hubungan antara makna itu dengan tanda ekspresi bersifat arbitrer. Dua orang yang berbeda mempunyai makna yang sama dalam pikirannya. Akan tetapi tanda ekspresi yang mereka gunakan untuk mengeskpresikan makna itu berbeda.

2.Kesadaran Kolektif
Dilthey (Seung 1982 :47) mengatakan bahwa identifikasi makna dengan wilyah kesadaran individual merupakan suatu kesalahan. Makna menurutnya terletak dalam pikiran objektif yang merupakan suatu sistem konvensi yang lewatnya anggota-anggota masyarakat berinteraksi (Seung 1982 :45).  Menurut Dithley (Seung 1982 :46) makna dan intensi-intensi yang ada dalam kesadaran individual terbagi dan komunikatif. Pikiran objektif bukan hanya medium ekspresi dan komunikasi melainkan juga metriks bagi pembentukan makna dan intensi-intensi tersebut. Pikiran objektif itu megandung unsur-unsur yang cukup banyak, misalnya bahasa, adat istiadat, kebiasaan, setiap jenis bentuk kehiupan atau kehidupan, dan juga keluarga, masyarakat, negara, serta hukum. Kesadaran kolektif terbagi lagi menjadi 3 bagian yaitu:
a.       Kesadaran Kolektif Kebahasaan
Schleirmacher (Seung 1982:25—26) mengatakan, bahwa hubungan antara tanda dengan makna itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu' hubungan dari makna ke tanda dan dari tanda ke makna. Hubungan pertama disebut ekspresif, sedangkan yang kedua inter­prétatif. Oleh karena itu, ia beranggapan bahwa interpre­tasi makna harus dilakukan dengan dua tahap. Pertama tahap ekspresi, yakni dengan memahami bahasa teks, sedangkan tahap kedua pemahaman terhadap makna dengan melampaui medium bahasa yang umum.
Pendapat serupa itu dikemukakan pula oleh Barthes (Hawkes 1978:131) dan Lotman (1977:9), dan banyak lagi yang lainnya. Barthes menyebut karya sastra sebagai second-order semiotic system yang ditumpangkan pada primery semiotic system yang berupa bahasa. Menurut­nya, satuan tanda dan makna dalam sistem semiotik tingkat pertama hanya menjadi tanda dalam sistem semiotik tingkat kedua itu. Lotman menyebut karya sastra sebagai secondary modeling system yang di­bangun atas dasar model bahasa.
Wilayah empirik. Saussure (Culler 1983:98), umpamanya, mengatakan bahwa di dalam sistem bahasa yang ada hanya perbedaan-perbedaan, bukan substansi. Kata bebi, misalnya, mempunyai eksistensi karena ber­beda dari kata bayi, batt, nabi, atau  babu. Dengan mendasarkan pada teori itu,  bahasa tentunya tidak mempunyai urusan dengan masalah konsep atau per­tanda (slgnrfled) atau makna.
Di dalam teori Saussure masalah makna yang disebutnya sebagai konsep atau pertanda ternyata tidak diabaikan. Menurutnya, tanda merupakan sarana untuk mencapai makna. Dengan teori yang kemudian itu, Saussure, kata Derrida (Culler 1983:98) telah men-dekonstruksi teorinya sendiri. Dengan istilah yang lebih tepat, wacana Saussure telah mendekonstruksi dirinya sendiri.
Meskipun dengan dekonstruksionismenya Derrida menolak eksistensi makna, persoalan makna bahasa tetap menjadi perhatian manusia. Di dalam sistem bahasa, makna tetap memegang peranan yang penting. Penentuan varian dan invarian dari sebuah fonem, misalnya, harus didasarkan pada makna. Bunyi t dan th dalam rangkaian bunyi batu dan bathu dapat dikatakan berbeda. Akan tetapi, perbedaan antara keduanya tidak bersistem, bukan perbedaan linguistik, sebab makna kedua rangkaian bunyi yang mengandungnya tidak berbeda. Makna yang menjadi penentu itu sendiri hanya terdapat dalam pikiran manusia, baik yang terbagi (shared) maupun yang individual.




b.      Kesadaran Kolektif Kebudayaan
Yang dimaksud dengan kebudayaan dalam tulisan ini adalah sistem semiotik yang di luar sistem semiotik bahasa dan sastra. Hal itu dapat berkaitan dengan pola perilaku tertentu, bentuk-bentuk tertentu, dan sebagai-nya. Sebagai sebuah sistem semiotik, kebudayaan itu dipandang mempunyai aspek ekspresi yang fisik dan aspek makna.
Para ahli sastra yang mengakui eksistensi kebudaya­an sebagai salah satu lokus makna antara lain adalah Barthes (1975:20), Culler (1977:140-145), dan Teeuw (1983:13). Kode penanda-penanda (semes) dari Roland Barthes (1975:119) dapat pula dimasukkan ke dalam aspek kebudayaan ini.
Barthes (1975:20) menyebutkan bahwa kode kultural adalah acuan-acuan kepada suatu ilmu atau suatu tubuh pengetahuan tertentu seperti fisika, psikologis, medis, dan historis. Sebagai sebuah kesadaran kolektif, di dalam buku ini tubuh pengetahuan itu harus dianggap sebagai sesuatu yang sudah terbagi di kalangan masya­rakat.
Sebagai misal, makna marah pada wajah merah dan tangan terkepal, makna gelisah pada perilaku orang yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.Teeuw (1983:13—14) memandang kode budaya, se­bagai tempat spesifikasi makna.Dengan mengutip satu bagian kecil dari Wedhatama karya Seri Mangkunegoro IV, ia menunjukkan bahwa makna yang terdapat dalam kesadaran kolektif kebahasaan yang general saja tidak dapat dikatakan sebagai makna yang tepat dari sebuah karya sastra.

c.       Kesadaran Kolektif Kesastraan.
Barthes (1975:19). Culler (1977:140), dan Teeuw (1983:14) tidak hanya mengakui eksistensi kesadaran kolektif kebudayaan, melainkan juga kesastraan. Kode-kode Barthes yang dapat dimasukkan ke dalam kesadar­an kolektif kesastraan adalah kode hermeneutik dan simbolik. Yang pertama berkaitan dengan pembentukan enigma (pertanyaan-pertanyaan), pensugestiannya, pe­rumusannya, penundaan pemecahannya, dan pemecah­annya. Seluruh tahap-tahap itu akan membentuk makna tersendiri pada karya sastra yang bersangkutan. Yang kedua, berkaitan dengan masalah kesatuan dalam kom­pleksitas. Pada kesadaran itu bertempat multivalensi dan réversibilités makna yang dibentuk oleh berbagai sudut pandang. Pandangan Lotman (1977:66) tentang simulta-nitas  sistem   hubungan  dalam  karya  sastra   serupa dengan pendapat Barthes yang terakhir itu.

Vraisemblans-vreisemblans Culler yang termasuk dalam kesadaran kolektif kesastraan adalah yang ketiga dan keempat. Yang ketiga adalah konvensi genre, sedangkan yang keempat sikap natural terhadap yang ketiga itu. Yang kelima adalah intertekstualitas, yaitu adanya teks tertentu yang menjadi dasar dari teks tertentu yang lain.
Seperti halnya Culler, Teeuw (1983:20) juga meng­akui eksistensi genre dalam karya sastra. Selain itu, ia juga mengemukakan lima hal lain yang berperan dalam signifikansi karya sastra, yaitu prinsip koherensi, prinsip otonomi dunia sastra, dan prinsip kebenaran universal.

Aspek nonempirik karya sastra itu terdiri dari kesadaran individual dan kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif itu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kesadaran kebahasaan, kebudayaan, dan kesastra­an. Berdasarkan tingkat generalitasnya, aspek-aspek karya sastra itu dapat disusun dalam bentuk diagram berikut.
Aspek empirik mempunyai tingkat generalitas yang tertinggi sebab bersifat objektif sehingga dapat diuji oleh semua orang tanpa memperdulikan latar belkang sosial, budaya, dan pengetahuannya.
Tingkat généralités bahasa dianggap lebih tinggi daripada tingkat generalitas budaya dan sastra sebab hal itu mempunyai tingkat kelembagaan yang tertinggi. Bahasa dipelajari oleh masyarakat sejak usia yang amat muda dan dipergunakan dalam hampir segala kesempat­an. Budaya dianggap lebih tinggi daripada sastra karena hal itu dipelajari lebih dini dan dipergunakan lebih sering daripada sastra. Budaya juga mempunyai tingkat penye­baran yang lebih tinggi daripada sastra. Masyarakat bangsawan Jawa, umpamanya, mempunyai tradisi sas­tra yang berbeda daripada masyarakat petaninya.
Di dalam kenyataan pikiran manusia unsur-unsur ke­sadaran manusia di atas tidak merupakan kategori yang berdiri sendiri-sendiri dan saling terpisah, melainkan saling berhubungan dan mungkin berbaur satu sama lain. Scholes (1977:10) cenderung melihat unsur-unsur kesadaran itu berhubungan satu sama lain secara hiererkis. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pe­mahaman karya sastra dapat dilakukan secara bertahep. Tahap pertama pemehaman struktur karya sasta. Tahap kedua pemahaman karya sastra dengan memasukkan struktur yang telah ditemukan dalam tahap pertama itu ke dalam struktur yang lebih besar yaitu sistem sastra. Tahap ketiga dilakukan dengan memasukkan sistem sastra ke dalam sistem yang lebih besar yakni sistem kultural. Pendapat serupa itu tampaknya diyakini pula oleh Teeuw (1983:61 ) seperti yang -terlihat dalam eseinya yang berjudul "Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra".
Unsur-unsur itu mungkin memang bersifat kategori­al, artinya dapat berupa satuan-satuan yang berdiri sendiri-sendiri. Akan tetapi, sebagai fakta mental, unsur-unsur itu mungkin pula berhubungan satu sama lain secara subversif ataupun ekspansif. Unsur yang satu menembus ke dalam unsur yang lain sehingga merusak unsur yang ditembusi itu. Kecenderungan tersebut tampak dengan jelas dalam berbagai karya sastra.
Di dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, Riffaterre (1978:2) mengemukakan konsep ungrammaticallties sebagai salah satu ciri puisi. Me­nurutnya, di dalam puisi terjadi penyimpangan dari tata-bahasa umum. Hal itu disebabkan oleh adanya konvensi sastra untuk melakukan perusakan (distorting), per­geseran (displacing), dan penciptaan (creating) makna yang lain daripada yang diberikan oleh tatabahasa. Sebagai contoh dapat dilihat kutipan berikut.
SAULINA
Bulan menyebar Petikan gitar
Saulina tinggalkan kampung Di jalan gunung
Saulina . . gadis remaja puteri Di darahnya hidup Serta bulan redup
(Situmorang 1982:14)

Baris Di jalan gunung pada bait pertama dan Serta bulan redup pada bait kedua menampilkan penyimpangan dari tatabahasa Indonesia yang umum. Di jalan gunung me­nampilkan distori makna sebab jalan gunung dapat berarti nama jalan dan dapat berarti sifat jalan (jalan ber­gunung).
Kata depan Di merupakan kata depan yang tidak jelas hubungannya dengan baris sebelumnya. Kata tinggalkan pada baris pertama lazimnya menuntut kata depan ke atau lewat.
Karena unsur-unsur kesadaran merupakan fakta' mental, fakta empirik, sukar ditentukan unsur mana sesungguhnya yang melakukan ekspansi ke dalam unsur bahasa itu. Dari beberapa kasus tertentu, yang agak dapat ditentukan adalah ekspansi unsur kultural. Hal itu dapat dilihat, misalnya dari kecenderungan beberapa karya sastra Indonesia yang mempertahankan kosakata-kosakata daerah tertentu. Umar Kayam di antaranya mempertahankan kata kelon, manten, dan lain-lain. Kata lega lila dipertahankan Linus dalam Pengakuan Pariyem.
Selain dalam lingkup aspek kesadaran, di dalam dunia sastra terdapat pula hubungan ekspansif dan subversif antara aspek empirik dan nonempirik. Karena ingin menekankan aspek empirik kata, Calzom Bachri (1981:13—14) berusaha mengabaikan makna kata itu. Kecenderungan serupa itu terjadi pula di Perancis, seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1968:    ).   
1.      Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan
Sebagaimana bahasa, karya sastra diciptakan bukan demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk menbangun makna itu sendiri. Bahasa, misalnya, digunakan dalam kenyataan yang kongkret untuk berbagai tujuan. Ada yang digunakan sebagai alat pembuat perjanjian, mem­beri sugesti, ajakan, melakukan sindiran, kritik, dan sebagainya.
Menurut Goldmann (1981:40), sebagai fakta ke­manusiaan karya sastra adalah struktur yang berarti (significant structure). Yang dimaksudkan adalah, bahwa penciptaan karya sastra adalah untuk mengembangkan hubungan manusia dengan dunia. Dalam hal itu pen­ciptaan karya itu sama dengan penciptaan hal-hal lainnya, seperti membangun jembatan, membangun rumah, memilih dalam pemilihan umum, dan sebagainya.
Karena sifatnya yang demikian, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari subjek penciptanya (Goldmann / 1981:40—41). Hanya saja, Goldmann tidak menyetujui anggapan bahwa subjek karya sastra adalah individu. Menurutnya, karya sastra atau karya kultural yang besar merupakan ekspresi tentang citra manusia dan semesta yang global. Setiap pekerjaan yang besar, misalnya membangun rumah, mengangkat batu besar, lalu dilaku­kan oleh subjek kolektif. Oleh karena itu, menurut Goldmann, subjek, karya sastra bukanlah individu, me­lainkan kelompok. Pendapat bahwa karya sastra bukan sesuatu yang abstrak dikemukakan pula oleh Seung (1982:38). Me­nurutnya, penafsiran (decoding) "makna sebuah teks sastra hanya dengan operasi semantik akan tetap membuat makna itu tidak pasti. Kalimat Anjing saya dapat menggigit kamu, misalnya, memang dapat di­pahami maknanya secara semantik. Akan tetapi, orang masih akan tetap bertanya-tanya mengenai maksud kalimat itu.
Dengan sistem semantik semata-mata tidak akan dapat dipahami, apakah dengan kalimat itu pem­bicara hanya memberi informasi, mengingatkan, atau menakut-nakuti. Oleh karena itu, menurut Seung di­butuhkan operasi sistem yang lain yaitu sistem makna pragmatik. Makna pragmatik adalahmakna yang didapat­kan dalam penggunaan sistemsemiotik tertentu. Hal tersebut mau tidak mau harus melibatkan pengguna tanda, intensi-intensinya, tindakan-tindakannya, situasi-situasinya, dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Seung (1982:107), prinsip pragmatik yang universal adalah kecocokan (appropriateness) : kecocok­an antara yang dikatakan dengan cara mengatakan, dan sebagainya. Masalah kecocokan itu hanya dapat diukur/ ditentukan dalam konteks pragmatik, dengan mengacu pada norma-norma dan fungsi-fungsi pragmatik (Seung 1982:109). Norma dan fungsi pragmatik itu sendiri secara historis diberikan dan ditentukan (Seung 1982:113).
Sebuah karya sastra yang memenuhi norma-norma kebahasaan- tidak dapat dikatakan memenuhi prinsip kecocokan kslau norma-norma kesastraan yang ada justru menuntut penyimpangan dari norma kebahasaan. Norma-norma kesastraan itu sendiri terikat pada ruang,, waktu dan kebudayaan tertentu.
Pada zaman Plato, misalnya peniruan merupakan unsur intrnsik karya sastra. Pada zaman modern yang dituntut dari karya sastra adalah otonominya dari berbagai aspek kehidupan lain: seni untuk seni itu sendiri.

  1. Kodrat Keberadaan Karya Sastra
Meskipun telah dapat memberikan gambaran me­ngenai berbagai aspek yang mendukung keberadaan karya sastra, uraian dalam Bab III di atas belum dapat memberikan jawaban tentang perbedaan objek itu dari fakta-faktar semiotik dan kemanusiaan lainnya. Adanya aspek empirik dan nonempirik juga ditemukan dalam fakta semiotik dan kemanusiaan lain seperti seni lukis, seni patung, wacara ilmiah, wacana hukum, dan bahasa sehari-hari. Bab ini akan berbicara tenteng kodrat karya sastra dalam pengertian kodrat yang membedakan karya itu dari fakta semiotik dan kemanusiaan lainnya.

a.       Karya Sastra dan Fakta Semiotik Lain
Sebagai fakta semiotik, karya sastra adalah sistem tanda. Menurut Pierce (Hawkes 1978:126—128) penanda adalah sesuatu yang bagi seseorang menjadi wakil dari sesuatu yang lain atas dasar tertentu. Penanda disebut­nya sebagai representamen, sesuatu yang lain disebut objek, seseorang disebut interprétant, sedangkan dasar disebutnya sebagai ground. Hubungan antara keempat hal itu menentukan kodrat yang tepat dari suatu proses semiotik. Menurut Pierce, pada umumnya hubungan Itu hanya terbatas pada tiga hal selain interprétant. Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan antara ketiga hal tersebut berada di dalam tiga jenis struktur triadik yang terhadap­nya hal atau unsur yang ketiga melakukan persepsi. Ketiga jenis struktur triadik itu adalah sebagai berikut.
Hubungan triadik perbandingan atau kemungkin­an logis yang didasarkan pada jenis tanda. Hubungan triadik semacam itu adalah qualisign, yaitu sebuah kualitas yang bertindak sebagai penanda pada saat kualitas itu diwujudkan; sinsign, yaitu suatu kenyataan aktual atau peristiwa yang secara sederhana dan tunggal bertindak sebagai penanda; dan legisign, yakni suatu hukum yang abstrak misalnya gramatika yang bertindak sebagai tanda.
a.       Hubungan triadik penampilan (performance). Hubungan ini melibatkan satuan aktual dalam dunia nyata yang didasarkan pada ground. Termasuk dalam jenis itu adalah icon, yakni sesuatu yang berfungsi sebagai penanda atas dasar ciri-ciri internalnya sendiri yang menyamai petanda; indeks, yaitu sesuatu yang berfungsi sebagai penanda atas dasar hubungan fak-turalnya dengan pertanda; dan simbol, yakni sesuatu yang berfungsi sebagai penanda karena konvensi.
b.      Hubungen triadik pikiran yang didasarkan pada jenis objek. Yang termasuk di dalamnya adalah rheme (atau seme), yakni suatu penanda yang mengindikasikan bagi interprétant kemungkinan suatu objek yang dapat dipahami; dicent (atau decisign atau pheme) yang meng­angkat informasi tentang objeknya; dan argumen, yaitu suatu penanda yang objeknya terutama bukan sesuatu yang kongkret, meiainkan suatu hukum.
Kombinasi antara kesembilan tipe tanda itu dapat melahirkan banyak sekali jenis tanda yang amat berguna bagi epistimologi atau analisis tentang proses perolehan pengetahuan. Meskipun demikian, menurut Pierce, ke­rangka kerja bagi eksistensi pengetahuan cenderung berasal dari tipe tanda yang kedua, yakni icon, indeks, dan simbol. Yang pertama merupakan tipe tanda yang menjiwai seni rupa. Yang kedua terlihat dari hubungan antara asap dengan api. Yang terakhir merupakan tipe tanda yang menjiwai bahasa.Teori Pierce itu menunjukkan bahwa sistem tanda atau fakta semiotik itu bermacam-macam. Setiap jenis tanda mempunyai cara kerja dan prosedurnya sendiri. Itulah sebabnya, pembicaraan mengenai karya sastra sebagai fakta semiotik harus mempertirnbangkan hal-hal berikut:
1.      termasuk jenis tanda yang mana karya sastra itu,
2.      apa yang membedakan karya sastra dengan jenis tanda yang lain dan dengan fakta semiotik yang sejenis.







Jenis Tanda Karya Sastra
Sebagai sebuah wacana, karya sastra tentu saja termasuk simbol. Wallek dan Warren (1968:22) mengata­kan bahwa karya sastra bematerikan bahasa. Hal itulah yang membedakannya dari seni patung yang bermateri­kan batu atau kayu dan seni lukis yang bermaterikan cat serta seni suara yang bermaterikan bunyi. Berbeda dari materi seni-seni lain itu, materi karya sastra bukan benda mati, melainkan ciptaan manusia yang dengan demikian dibebani oleh warisan kultural dari suatu kelompok-lingu-istik tertentu. Konsep warisan kultural itu tentunya dapat disamakan dengan konsep konvensi dari Pierce di atas.
Meskipun secara mutlak tidak dapat mengingkari kehadiran bahasa, karya sastra tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai simbol belaka. Karya sastra juga mengandung ilusi visual dan tiruan bunyi yang tidak terikat pada konvensi bahasa. Gambaran tempat, peri­laku manusia, dan tiruan suara seperti suara angin, suara -ombak, atau suara zero (kesunyian yang tak bersuara), merupakan hal-hal yang selalu terdapat dalam karya sastra baik prosa maupun puisi.
Selain mengandung ilusi visual dan tiruan bunyi, karya sastra mengandung pula Ilusi kausal. Gambaran tempat, perilaku manusia, dan tiruan bunyi yang terdapat dalam karya sastra seringkali tidak hanya hadir untuk dirinya sendiri, melainkan untuk akibat-akibat yangditimbulkannya. Gambaran "Joni membunuh kucing" da­lam Tanah Gersang, misalnya, mempunyai petanda yang kompleks dan berantai." Gambaran itu pertama-tama bersifat indikatif atau termasuk jenis rheme. Petanda itu sendiri kemudian menjadi petanda yang bersifat kausal atau termasuk jenis indeks.
Kenyataan di atas dapat membuat karya sastra tidak hanya dipandang sebagai simbol, melainkan juga indeks dan ikon atau bahkan jenis tanda yang lainnya. Kesan serupa itu diperkuat pula oleh dimensi visual dari bahasa tulis yang menjadi materi dari sastra tulis. Pendek kata, karena karya sastra memberikan ilusi mengenai kehidup­an, seluruh jenis tanda yang ada dalam kehidupan dapat menjadi jiwanya.
Sampai di sini uraian mengenai kodrat semiotik karya sastra tampaknya telah dapat membawa pada satu kesimpulan. Akan tetapi, persoalannya sesungguhnya tidak sesederhana itu. Kehadiran ilusi nonsimbolik di atas belum tentu tidak konvensional. Tiruan bunyi ayam, misalnya ternyata berbeda-beda sesuai dengen perbeda­an daerah kebahasaan yang mengandungnya. Masyara­kat Asmat belum tentu memandang foto dirinya sebagai tiruan dari dirinya. Pembunuhan terhadap kucing yang dilakukan oleh Joni belum tentu mengindikasikan hal yang sama bagi masyarakat yang berbeda.
Kenyataan itulah yang mungkin membuat Barthes dan Culler (Culler 1977:140) memandang segala hubung­an penanda dan- petanda sebagai sesuatu yang tidak kodrati dan universal, melainkan sesuatu yang konvensi­onal, yang hanya didapat lewat pengetahuan atau proses belajar. Pengetahuan psikologi, sosiologi, dan lain-lain­nya yang digunakan sebagai alat memahami petanda dari suatu penanda adalah juga suatu konvensi.
Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah jenis simbol yang kompleks. Kalau seni rupa merupakan simbol visual, seni suara simbol suara, karya sastra merupakan simbol visual, suara, bahasa, indikatif, kausal, dan sebagainya. Segala jenis tanda yang terdapat dalam kehidupan menjiwai karya sastra karena wacana itu menampilkan ilusi kehidupan itu sendiri.
  1. Karya Sastra dan Wacana Lain
Karya sastra adalah sebuah wacana. Akan tetapi, karena masih amat abstrak, kesimpulan itu belum mampu memberikan gambaran mengenai perbedaan antara karya sastra dengan wacana lain seperti wacana ilmu pengetahuan, kitab suci, dan bahasa sehari-hari.
Pembicaraan mengenai perbedaan antara wacara sastra dengan wacana lain kiranya dapat dimulai dari Jakobson sebab tokoh itu mengemukakan sebuah ske­ma yang cukup luas. Jakobson (1972:85—86) melalui pembicaraannya dengan sebuah pertanyaan: "What makas a verbal message a work of art?". Dengan pertanyaan itu jelas bahwa ia ingin mengetahui ciri yang membedakan verbal message yang tidak menjedi karya seni dengan yang menjadi karya seni. Yang tidak menjadi karya seni itu dapat berupa wacana ilmiah, bahasa sehari-hari, dan sebagainya.
Untuk menjawab pertanyaan itu Jakobson (1972:89) meneliti lebih dahulu faktor-faktor yang membangun setiep peristiwa komunikasi verbal. Fektor pertama adalah "pengirim tanda verbal" yang mengirimkahfaktor kedua atau "tanda verbal" kepada faktor ketiga atau "penerima tanda verbel". Agar dapat operatif tanda verbal itu menuntut faktor keempat atau "konteks" atau referen. Agar dapat komunikatif harus terdapat faktor kelima atau "kode" yang, baik sebagian maupun ke­seluruhan, terbagi antara pengirim dan penerima. Ko-muniKasi verbal itu tidak akan mungkin terbangun tanpa adanya saluran fisik ataupun psikologis yang meng­hubungkan pengirim dan penerima. Saluran itu merupa­kan faktor keenam dan disebut "kontak".
Menurut Jakobson (1972:89—95), faktor-faktor pem­bangun itu menentukan fungsi-fungsi bahasa. Faktor pertama membuahkan fungsi ekspresif bahasa, yang kedua fungsi puitik, yang ketiga fungsi konatrf, yang keempat fungsi referential, yang kelima fungsi metala­nguage, sedangkan yang keenam fungsi phatic. Fungsi pertama melayani diri pengirim, fungsi kedua penanda verbal itu sendiri, fungsi ketiga penerima, fungsi keempat referen, fungsi kelima kode, sedangkan fungsi keenam mementingkan konteks.
Meskipun dapat dibedakan menjadi enam faktor pembentuk dan enam fungsi, sukar ditemukan message-message verbal yang hanya memenuhi satu fungsi saja (Jakobson 1972:89—90). Suatu message biasanya me­ngandung lebih dari satu fungsi. Meskipun demikian, struktur message itu biasanya ditentukan hanya oleh satu fungsi yang dominan. Hukum itu berlaku juga bagi wacana sastra. Menurut Jakobson (1972:93), karya sastra mengandung lebih dari satu fungsi. Akan tetapi, strukturnya ditentukan oleh satu fungsi saja, yakni fungsi puitik.
Dominasi fungsi puitik itulah yang mem­buat wacana sastra berbeda dari wacana lainnya, baik wacana ilmiah yang menekankan pada referen, wacana "upacara" yang menekankan pada kontak, dan lain-lain.Pendapat Jakobson yang terakhir itu disetujui oleh Wellek dan Warren (1968:25). Menurut mereka, meski­pun perbedaannya dengan wacana lain amat cair, wacana sastra mempunyai ciri khusus yaitu mengan­dung fungsi estetik yang dominan. Selain persamaan itu, antara teori Wellek dan Warren dengan Jakobson terdapat pula perbedaan. Bahasa atau wacana sastra mengandung sisi ekspresif dan pragmatik di samping sisi.

Sesungguhnya tidak hanya perbedaan umum antara wacana sastra dengan wacana lain saja yang dibicarakan Wellek dan Warren. Di samping itu mereka juga berbicara tentang perbedaan antara wacana sastra dengan wacana ilmu. Menurut mereka, perbedaan antara kedua jenis wacana itu berkisar pada perbedaan antara sifat konotatif dan denotatif, antara tekanan pada penanda dan referen, dan antara sifat unamblgous dan sifat ambigu makna (Wellek dan Warren 1968:22-23).
Lotman menganggap wacana atau teks ilmiah bersifat umum-bluous, berorientasi pada hukum-hukum umum dan gagasa abstrak. Sebaliknya, teks sastra, baik detail-detailnya maupun keseluruhannya, masuk dalam berbagai sistem hubungan sehingga menghasilkan secara simultan lebih dari satu makna.
            Menurut Platt (1977:67-68), peneliti empirik labov mengenai cerita pengalaman personal yang seharusnya termasuk dalam bahasa nonsastra menunjukkan bahwa teori-teori mengenai bahasa nonsastra yang terdahulu sama sekali tidak benar. Semua ciri bahasa sastra seperti yang dikemukakan oleh kaum formalis terdapat juga dalam cerita pengalaman personal itu. Oleh karena itu, persoalan bahasa sastra sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanya sastra(Pratt 1977:78).
            Dengan berdasarkan mendasarkan diri pada teori tindak tutur Pratt(1977:86) beranggapan bahwa sastra adalah konteks tutur. Berdasarkan tuturan-tuturan lainnya, cara masyarakat masyarakat memahami dan memproduksi karya sastra tergantung pada pengetahuan tentang hukum-hukum, konvensasi-konvensasi, dan harapan-harapan yang tak terucapkan, dan secara kultural terbagi. Seperti halnya penentuan tentang penjelasan, ungkapan terima kasih, persuasi, harus meliputi informasi kontekstual yang menjadi sandaran bagi partisipan, penentuan tentang kesastraan pun demikian. Contoh konkret dari hal itu adalah penentuan genre sastra.
            Wellek dan Warren (1968:96:27) mencoba membedakan karya sastra dari wacana lain dari segi sifat imajinatif dan fiktifnya. Pratt (1977:96:98) menolak wacana itu. Penolakannya itu didasarkan pada tiga hal, yaitu :
1.      Batas antara fiksi dan nonfiksiitu kadang tidak jelas.
2.      Seringkali ada konteks yang menuntut tidak tertentukannya batas antara fiksi dan nonfiksi.
3.      Ada kasus-kasus yang dapat membuat orang orang berbeda pendapat mengenai fiksi dan nonfiksi.

Dalam perbedaan antara karya sastra dengan nonsastra pratt akhirnya menggunakan pendekatan kontekstual. Menurutnya ada tiga faktor yang jelas dan dapat digunakan untuk mengindentifikasi situasi, pertama, karya sastra termasuk kelas tutur yang dialamatkan pada Audiens. Kedua, dalam kelas itu karya sastra termasuk subkelas yang mempradugaan adanya suatu proses sileksi dan persiapan. Ketiga, karya sastra itu termasuk subkelas yang relevansinya adalah sasaran mempermainkan pengalaman.
Berikut ini uraian mengenai kodrat karya sastra sebagai fakta semiotik.
1.      Karya sastra dapat dibedakan dari karya seni lainnya dari ciri-ciri intrinsiknya.
2.      Ciri-ciri intrinsik yang menjadi perbedaan itu adalah sebagai berikut: (a)Materinya adalah hal yang bersifat simbiotik. (b)Petanda bahasanya dapat menjadi penanda visual, auditori, dan sebagainya, yang juga bersifat simbolik.
3.      Perbedaab antara karya satra dengan wacana lain tidak dapat ditentukan secara intrinsik, melainkan secara kontekstual.
4.      Konteks itu berupa situasi tutur sastra yang terbangun atas tiga faktor sebagai berikut: (a) audiens harus menjadi partisipan pasif dalam komunikasi sastra, (b) kepasifan audiens itu disebabkan oleh kelayakan cerita dari hal yang dikemukakan karya sastra, (c) kepasifan itu dimungkinkan pula oleh kepercayaan audiens dalam proses persiapan dan sileksi yang telah dipahami karya sastra itu.

2.      Karya Sastra dan Fakta kebudayaan lain
                  Fakta kemanusiaan adalah peristiwa sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak dipandang sebagai penanda dari suatu petanda yang bersifat konvensional. Perbedaab antara karya sastra dengan fakta kemanusiaan lain dapat dilakukan dengan mudah. Fakta kemanusiaan lain merupakan aktivitas fisik, sedangkan karya sastra merupakan aktivitas verbal. Meskipun perbedaan antara kedua kutub fakta itu tampak jelas, kasus-kasus yang mengaburkannya sering juga terjadi. Pertama, peristiwa-peristiwa fisik baik yang sosial, politis, maupun ekonomis, seringkali dianggap sebagai indikator dari suatu yang lain. Kedua, di dalam karya sastra terkandung ilusi peristiwa-peristiwa fisik yang sama dengan peristiwa-peristiwa fisik dalam pengertian di atas.










Strukturalisme-Genetik
Tempat Strukturalisme-Genetik dalam Perkembangan Teori Sastra
            Sepanjang sejarah pemahaman karya sastra didasarkan pada berbagai asumsi mengenai karya sebagai objek pemahamn itu. Yang sebagian pemahaman yang didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra merupakan objek otonom, objek yang memenuhi dan mengatur dirinya sendiri, sedangkan yang sebagian lainnya pemahaman yang didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra merupakan objek yang terikat pada pengarang, realitas, dan audiennya (Abrams 1979:6-29).
  1. Teori Otonom Karya dan Perkembangannya
Dari hasil penelitian abram (1979) dapat diketahui bahwa teori yang berorientasi pada realitas(semesta) yang disebutnya sebagai teori kritik memetik bermula dari Plato dan dominan pada abad ke-18. Teori yang beroriaentasi pada audiens yang disebutnya sebagai teori kritik pragmatikbermula dari horace dan dominan pada abad ke-18 pula. Kekhasan bahasa sastra itu tampak pada kecendrungannya untuk mengarahkan perhatian pembaca pada unsur formal dan hubungan antara tanda-tanda kebahasaan bahasa itu sendiri.
  1. Teori General
Konsep abstrak terbangun dari beberapa konsep yang lebih konkret dan bahkan konkret atau dapat diamati. Di dalam sosiologi sastra, umpamanya, dikenal konsep lembaga sosial. Konsep itu lebih abstrak daripada konsep peranan. Pada gilirannya, konsep peranan, misalnya pasien, terbangun dari beberapa konsep yang lebih konkret, misalnya orang yang membuka pakaian di depan dokter, bersedia tunduk pada otoritas dokter, merasakan kurang enak badan (Paul Johnson 1986:37).
  1. Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha difahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, aktivitas inndividual tertentu, dan juga filsafat.


  1. Subjek Fakta Kemausiaan
Freud selalu menganggap subjek segala hasil perilaku manusia sebagai seorang individu tertentu (Goldmann 1981:93). Menurut Goldmann (1970:597), tidak semua fakta kemanusiaan bersumber dari subje individual. Secara intuitif pun semua orang dapat mengenal perbedaan antara, misalnya sebuah revolusi sosial atau karya kultural yang besar dengan mimpi-mimpi atau prilaku orang gila. Oleh karena itu, usaha mengembalikan fakta yang pertama itu ke sumber yang hanya merupakan subjek individual merupakan pemerkosaan terhadap kodrat fakta itu sendir.
  1. Strukturasi, Pandangan Dunia, dan Struktur
Struktural adalah konsep aktivitas ketegorial dari fikiran atau perasaan suatu subjek tertentu. Dalam hubungannya dengan karya kultural yang besar, termasuk karya sastra yang besar, aktivitas tersebut disebut pandangan dunia. Menurut Goldmann (1977:15), pandangan dunia itu sama dengan konsep kesadaran kolektif yang biasa digunakan dalam ilmu sosial.
  1. Estetika Sosiologi dan Estetika Sastra
Sifat tematik konsep struktur Golmann merupakan hal yang tidak terelakkan. Hal itu disebabkan oleh anggapannya bahwa karya sastra merupakan ekspresi dan produk strukturasi pandangan dunia. Usaha pencarian dan penentuan hubungan antara pandangan dunia dengan semesta tokoh-tokoh dan objek-objek yang diciptakan dalam karya sastra tertentu disebutestetika sosiologi (Golmann 1977:316).
Di sampning estetika sosiologis, Golmann mengemukakan pula perlunya estetika sastra bagi strukturalisme-genetik. Estetika yang kedua itu berusaha mencari dan menemukan hubungan antara semesta karya satra dengan perelatan-peralatan formal tertentu seperti gaya imaji-imaji, sintaksis, dan sebagainya (Golmann 1977:315,136). Meskipun demikian, pengakuannya ia belum melakukan penelitian dengan estetika yang kedua tersebut.




Perkembangan Teori
1.      Fase Hiden God
Hiden God adalah buku Golmann yang memuat hasil penelitiannya mengenai karya-karya filsafat Pascal dan drama-drama Recine. Laporan penelitian  mengenai karya- karya filsafat Pascal dan drama-drama Recine oleh Golmann ini dimulai dengan uraian mengenai dasar teori dan metode yang digunakannya. Setelah itu ia memaparkan konsep mengenai pandangan dunia tragik yang menurutnya merupakan pandangan dunia yang diekspresikan oleh karya-karya kedua orang yang ditelitinya tersebut. Di dalam bab berikutnya Golmann kemidian memaparkan hubungan antara pandangan dunia tragik yang telah disampaikannya tersebut dengan kelompok sosial tertentu yang ada di Perancis pada saat pandangan dunia itu lahir, yaitu kelompok sosial yang ada sekitar pertengahan abad XVII.

a.        Pandangan Dunia Tragik
Menurut Golmann (Faruk, 1988: 80) pandangan dunia tragik mengandung tiga elemen, yakni pandangan mengenai Tuhan, dunia, dan manusia. Pandangan tragik mengenai semua elemen tersebut bercirikan dua hal yang sangat bertentangan. Pertama, pemahaman secara lengkap dan tepat mengenai dunia baru yang diciptakan oleh individualism rasionalistik beserta tuntutan-tuntutan yang berharga dan secara ilmiah shahih. Kedua, penolakan secara total untuk menerima dunia tersebut sebagai satu-satunya dunia yang memungkinkan manusia hidup, bergerak, dan mempunyai keberadaan. Kedua hal ini menurut Golmann bertentangan dalam waktu yang bersamaan dalam pandangan dunia tragik.
1.       Subjek Kolektif dan Lingkungan Sekitarnya
Pandangan dunia merupakan iklim general dari pikiran dan perasaan suatu kelompok sosial tertentu yang ada pada yaitu kelompok sosial yang ada sekitar pertengahan abad XVII di Perancis. Kelompok sosial yang dianggap sebagai subjek kolektif hanyalah kelompok sosial yang gagasan-gagasanya serta aktivitas-aktivitasnya cenderung ke arah penciptaan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan sosial manusia. Kelompok serupa iitu adalah kelompok kelas sosial (Faruk, 1988: 84).

2.      Fase Malraux
Sesudah menerbitkan buku hasil penelitiannya mengenai karya-karya filsafat Pascal dan drama-drama Recine, bulan Januari 1961 Golmann diminta memimpin sebuah penelitian sosiologi sastra secara berkelompok dengan bermula pada penelitian tentang novel-novel Malraux. Karena objek yang ditawarkan amat berbeda dari objek yang pernah ditelitinya, Golmann menerima tawaran tersebut.
a.       Novel dan Jenis-jenisnya
Dengan mendasarkan diri pada teori Lukacs dan Girard, Golmann mendevinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah cerita yang juga terdegradasi.
Yang dimaksud nilai otentik adalah nilai-lai yang mengorganisasikan dunia novel secara keselruhan meskipun hanya secara implisit, tidak eksplisit. Nilai-nilai tersebut hanya ada dalam kesadaran si novelis, tidak ada karakter-karakter sadar atau realitas yang konkret (Faruk, 1988: 89).
Atas dasar definisi itulah kategorosasi novel yang dipinjam Goldmann dari Lukacs dibuat. Goldmann membedakan novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealism abstrak, novel psokologis, dan bildungs roman. Yang pertama adalah novel yang bercirikan aktivitas hero dan kesadarannya yang terlampau sempit dibandingkan kompleksitas dunia. Contohnya adalah Don Quixote. Yang kedua novel bercirikan analisis mengenai kehidupan batin, pasivitas hero, dan kesadarannya yang terlampau luas untuk dapat dipuaskan oleh apa yang ditawarkan oleh dunia konvensi. Contohnya adalah L’ Education Sentimentale. Yang ketiga bercirikan pembatasan yang dipaksakan pada diri (self-imposed imitation). Meskipun telah meepaskan pencarian yang problematik, sang hero tidak menerima dunia novel yang disebut dengan “kematangan yang jantan” itu antara lain adalah karya Goethe yang berjudul Wolheim Meister.

1.       Nilai-nilai Masyarakat Pasar
Golmann mengatakan bahwa bentuk novel tampaknya merupakan trasposisi ke dataran sastra sehari-hari dalam masyarakat individualistik yang diciptakan oleh produksi pasar. Menurutnya ada kesejajaran antara bentuk literer novel, sebagaimana didefinisikan, dengan hubungan sehari-hari antara manusia dengan komodoti pada umumnya atau secara lebih luas antara manusia dengan sesamanya dalam masyarakat pasar.
2.      Subjek Kolektif
Konsisten dengan teori generalnya, Goldmann menganggap bahwa pandangan dunia merupakan suatu kesadaran kolektif. Menurutnya karya sastra bukan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang nyata da nada, melainkan puncak dari suatu level yang sangat tinggi dai koherensi kecenderungan-kecenderungan yang khusus bagi suatu kelompok tertentu, suatu kesadaran yang harus dipahami sebaga suatu realitas dinamik yang diarahkan ke satu bentuk keseimbangan tertentu.
Identifikasi subjek karya sastra sebagai subjek kolektifserupa dengan identifikasi subjek yang dilakukan Goldmann dalam penelitiannya mengenai karya-karya filsafat Pascal dan drama-drama Recine. Akan tetapi, di samping persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Kalau sebelumnya Goldmann melihat subjekitu sebagai kelas sosial, dalam penelitiannya mengenai karya Malraux, ia melihatnya hanya sebgai kelompok menengah yang berada di luar kelas sosial.
Seperti diketahui, teoti umum mengatakan bahwa masyarakat modern yang kapitalistis terbangun dari oposisi antara kelas kapitalis dengan kelas proleter. Menurut Goldmann pembagian yang Marxistis itu tidak akan mampu memahami fenimena sastra modern khususnya karya-karya Malraux.

  1. Analisis Karya-karya Malraux
            Goldmann tidak memusatkan perhatiannya pada seluruh karya. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah karya-karya yang tergolong novel saja, yaitu karya yang keempat, kelima, dan keenam (Goldman 1977:19). Tiga karya pertama merupakan cerita fantastik dan alegoris (Goldmann 1977:19), sedangkan karya-karya lainnya termasuk epikolirik dan esei yang bersifat konseptual (goldmann 1977:19).
            Penekanan perhatian itu tidak dapat diartikan sebagai pengabaian terhadap hal yang tidak dapat penekanan tersebut. Sebagai rangkaian sejarah penciptaan, karya-karya sebelum dan sesudah periode penciptaan novel itu juga disinggung serba sedikit. Begitu pula latar belakang sosial dan ekonomi yang melahirkannya.
            Goldmann (1997:28) mengatakan bahwa tiga karya yang pertama merupakan hasil cipta Malrauc yang masih berada dalam tahap belajar dan mencari. Meskipun demikian, karya itu memperlihatkan kesensitifan pengarangnya terhadap krisis nilai yang terjadi dalam masyrakat Eropa Barat. Karya-karya itu bercerita mengenai kekuasaan kerajaan maut yang mencekam (Goldmann 1977:22).
            Meskipun semuanya tergolong  dalam novel, karya Malraux yang keempat dan kelima berbeda dengan yang keenam. Dalam dua novel yang pertama itu yang menjadi hero adalah subjek individual, sedangkan dalam novel yang ketiga yang menjadi hero adalah subjek kolektif (Goldmann 1977:30). Problematik hero individual dalam dua novel yang pertama bersangkutan dengan adanya maut dan ketidakhadiran kekuatan transindividual (Goldmann 1977:32), sedangkan problematik hero kolektif bersangkutan dengan konflik antara ikatan spontan pada ideologi dengan disiplin pada partai (Goldmann 1977:65).
            Sesuai dengan hipotesis dasarnya Goldmann (1977:29) memberikan garis besar mengenai perkembangan karya-karya Malraux itu sebagai berikut.
            Dalam hubungannnya dengan intelektual kiri Prancis yang menjadi kelompok sosial Malraux (Goldmann 1977:84), nilai-nilai universal itu adalah gerakan komunisme internasional. Karena ternyata komunisme bukanlah nilai-nilai yang universal, melainkan justru hanya suatu ideologi tertentu yang membawa kepentingan negara itu sendiri (Goldmann 1977:144), kelompok intelektual kiri Prancis menjadi kecewa dan kehilangan kepercayaannya. Hal ini terungkap dalam Les Noyers del’Altenburg.
  1. Fase Novel Baru (Nouveau Roman)
            Dalam uraiannya mengenai karya-karya Malraux Goldmann (1977:29-30) mengkategorikan karya sastra sejak novel menjadi tiga kategori. Yang pertama novel dengan hero problematik, yang kedua novel dengan karakter non-biografis, dan yang ketiga novel yang lahir di satu pihak dari kenyataan lenyapnya dasar sosial ekonomik dan individualisme, di lain pihak dari kenyataan bahwa evolusi sosial, ekonomik, dan kultural, belum cukup tinggi untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi suatu krisatalisati yang pasti dari novel tanpa hero dan tanpa karakter.


  1. Latar Belakang Sosial Ekonomi
            Kenyataan sosial-ekonomi yang melatar belakangi bentuk novel adalah struktur pertukaran yang reifikasional. Babakan waktu dari perkembangan struktur reifikasi itu adalah sebagai berikut (Goldmann 1977:135-136).
a.       Dari awal kelahirannya sampai dengan awal abad XX ekonomi liberal masih mempertahankan fungsi esensial dari individu dalam kehidupan ekonomik dan dengan demikian kehidupan sosial.
b.      Sejak akhir abad XIX hingga awal abad XX sistem ekonomi bergeser dari sistem kapitalisme liberal ke sistem kapitalisme imprealisme. Pergeseran itu mengakibatkan timbulnya tekanan terhadap kepentingan esensial dari individu dan kehidupan individual dalam struktur ekonomik dan dengan demikian kehidupan sosial secara keseluruhan
6.      Karya-karya Novel Baru
            Dua periode terakhir yang dikemukan di atas, menurut Goldmann (1977:138-139), berhubungan dengan dua periode besar dalm sejarah bentuk novel. Yang pertama bercirikan kehancuran karakter seperti yang terlihat dalam karya Joyce, Kafka, Musil, Sertre (La Nausee), Camus (L’Etranger), dan terutama sekali karya-karya Nathalie Sarraute. Yang kedua bercirikan kemunculan dunia objek-objek yang memunyai struktur dan hukum-hukumnya sendiri dan yang lewatnya manusia mengekspresikan diri. Karya yang kedua ini merupakan karya sastra yang baru.








METODE PENELITIAN
  1. Metode Positivistik
            Metode positivistik adalah metode analisis tekstual. Menurut Goldmann (1977:8), metode itu mempertimbangkan teks sebagai titik awal dan akhir dari penelitian meskipun tidak berusaha menangkap makna yang lebih kurang koheren.
            Menurut Goldmann (1977:9-10), metode semacam itu akan menghadapi dua kesukaran. Yang pertama kesukaran dalam menentukan teks yang esensial dan aksidental. Yamg kedua kesukaran yang berupa ketidakpastian atau ambiguitas makna.
            Alat yang disediakan oleh metode positivistik dalam menentukan karya yang esensial dan karya aksidental biasanya adalah kriteria esterik (Goldmann 1977:14). Akan tetapi, alat itu memunyai kelemahan pokok. Yang pertama dan utama adalah sifat subjektifnya, sedangkan yang kedua ketidakmampuannya menerangkan karya-karya kultural lain.
            Selain tidak mampu menentukan karya yang esensial dan aksidental, metode positivistik juga tidak dapat memecahkan persoalan ambiguitas makna. Menurut Goldmann (1977:10), dalam pandangan pertama makna karya sastra itu tidak dengan sendirinya pasti dan tidak ambigu. Kata-kata, kalimat dan frase-frase yang tampaknya mirip dan bahkan identik, dapat memunyai makna yang berbeda apabila ditempatkan dalam konteks yang berbeda. Persoalan serupa itu tidak akan dapat dipecahkan oleh metode positivistik.
  1. Metode Biografis
            Menurut Goldmann (1977:9), metode biografis serupa itu tidak akan membuahkan hasil yang meyakinkan (reliable). Kesimpulan itu dibuatnya atas dasar tiga alasan berikut.
            Pertama, tulisan aktual seorang pengarang pada hakikatnya membangun hanya satu sektor dari perilaku pengarang itu, satu sektor yang selalu tergantung pada struktur fisiologis dan psikologis yang kompleks yang mengalami perubahan-perubahan besar sepanjang kehidupannya.
            Kedua, dalam kehidupannya pengarang selalu berada dalam sejumlah besar situasi-situasi khusus yang tidak terbatas situasi-situasi itu seringkali mirip satu sama lain, tetapi juga berbeda dan penuh variasi.
            Ketiga, pengarang-pengarang dari masa lalu sudah mati, tidak dapat ditemui dan ditanyai lagi. Sementara itu , informasi mengenai akan amat terbatas. Jauh lebih terbatas daripada kenyataan hidup pengarang itu.
  1. Metode Intuitif
            Metode intuitif adalah metode pengetahuan sastra yang didasarkan pada perasaan-perasaan dari simpati dan afinitas persoanal (Goldmann 1977:8). Menurutnya metode intuitif bukanlah metode ilmiah. Oleh karena itu ia tidak mebicarakannya lebih jauh.
  1. Metode Dialektik
            Metode dialektik adalah metode strukturalisme genetik yang ditawarkan Goldmann. Dari segi titik awal dan titik akhirnya merode ini sama dengan metode posivistik. Sama-sama bermula dan berakhir pada teks sastra. Perbedaannya hanya terletak pada masalah koherensi. Berbeda dengan metode yang kedua, metode dialektik menaruh perhatian pada makna yang koheren (Goldmann: 1977:8).
            Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikan ke dlam keseluruhan (Goldmann 1977:7). Sehubungan dengan hal itu, metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu “keseluruhan bagian” dan pemahamanppenjelasan” akan dijelaskan lebih dahulu konsep sudut pandang dialektik yang lebih umum.
  1. Sudut Pandang Dialektik
            Menurut Goldmann (1977:5), sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak valid, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual memunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta pertial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu.


  1. Siklus Keseluruhan Bagian
            Menurut Goldmann (1970:602-603), teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar serupa itu berlansung, sebagai berikut: pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pengecekan terhadap model dengan membandingkannya dengan keseluruhan (paragraf demi paragraf untuk kasus prosa, baris demi baris untik puisi, ucapan demi ucapan untuk kasus drama) dengan cara menentukan (1) sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabungkan dengan hipotesis menyeluruh, (2) daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang tidak diperlengkapi dalam model semula, (3) frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapinya dalam model yang sudah dicek itu.
            Demikian metode dialektik yang telah dibedakan dari metode positivistik dan tradisional, menurut Goldmann (1977:14), hanya dengan metode  dialektik itulah dapat ditentukan karya yang esensial dan yang aksidental. Instrumen penentuan itu adalah pandangan dunia sebab karya sastra merupakan ekspresi darinya. Goldmann (1977:15), mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan kesadaran kolektif yang digunakan sebagai suatu hipotesis kerja yang konseptual untuk pemahaman mengenai cara individu mengekspresiakan gagasannya. 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger